Sabtu, 20 Maret 2010

Ikan Sidat Indonesia Diincar Jepang

BUDIDAYA IKAN SIDAT
Rabu, 17 Maret 2010 | 10:06 WIB

Sidat Bengkulu Komoditi yang Belum Tergarap
KOMPAS.com — Benar jika dikatakan bahwa kekayaan kelautan dan perikanan Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Buktinya terlihat dari salah satu spesies ikan kegemaran warga Jepang, yaitu ikan sidat atau unagi, yang banyak hidup di perairan Indonesia.

Benih ikan sidat yang bisa hidup di air tawar dan asin itu ternyata menjadi incaran pengusaha perikanan Jepang karena harganya yang terbilang wah dan bisa mengucurkan yen ke kantong. Ambil contoh, ikan sidat jenis marmorata. Untuk membeli satu kilogramnya saja, Anda harus menyediakan uang setidaknya Rp 300.000.

Namun, ada juga 5 jenis ikan sidat lainnya yang salah satunya dijual seharga Rp 150.000 per kg, yakni jenis bicolor. Benihnya banyak ditemukan di perairan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Sampai saat ini, manusia belum bisa melakukan pemijahan terhadap benih ikan sidat tersebut. Pasalnya, ikan ini mensyaratkan pemijahan dilakukan di perairan laut dalam setelah benur lahir dan menjadi benih. Biasanya anakan sidat akan berenang ke muara sungai.

Di muara sungai itulah ikan itu besar sampai kemudian datang masa pemijahan lagi. "Jepang yang memiliki teknologi tinggi pun sampai sekarang belum bisa melakukan pemijahan tersebut," papar Made Suita, Kepala Balai Pelayanan Usaha (BLU) Tambak Pandu, Karawang, Minggu (14/3/2010).

Alhasil, untuk pembudidayaan ikan sidat tersebut, benih harus didatangkan dari alam. Beberapa daerah yang sudah memiliki sebaran tersebut adalah perairan Poso, Manado, selatan Jawa terutama perairan Palabuhan Ratu, dan perairan di barat Sumatera.

Namun, tidak semua daerah itu benihnya bisa dimanfaatkan karena banyak nelayan yang belum mengerti cara untuk menangkapnya. Made menyebutkan, nelayan yang sudah memiliki kemampuan untuk menangkap benih sidat itu baru nelayan yang ada di Palabuhan Ratu. Wilayah ini memiliki palung dan muara sungai yang mengalir ke laut.

Nurdin selaku Kepala Bagian Budidaya di BLU Pandu Karawang bilang, kini sudah ada yang mengomersialkan keberadaan benih itu, terutama nelayan yang ada di Palabuhan Ratu. Mereka sudah mengetahui potensi pasar benih ikan sidat, yang satu kilogramnya atau sekitar 5.000 benih dijual seharga Rp 150.000 per kg. Pembelinya pun kebanyakan datang dari Taiwan, Korea, China, Vietnam, dan tentunya Jepang.

Namun sebagian masyarakat Indonesia belum mengerti keberadaan bibit ikan sidat tersebut. Di Poso dan Manadi, misalnya, benih ikan sidat tersebut bahkan dijadikan ikan yang digoreng dengan rempeyek. Menurut Nurdin, ketika warga tidak mengetahuinya, ikan sidat itu menjadi ikan biasa seperti teri.

Pembeli benih ikan sidat dari berbagai negara kini sudah banyak mengincarnya. Sementara itu, pembeli benih domestik hanya memanfaatkannya untuk kebutuhan budidaya yang ada di Karawang, Cirebon, dan Indramayu. Yang menyulitkan bagi pembudidaya di dalam negeri adalah mereka tidak memiliki akses langsung ke pasar ekspor. Adapun di pasar dalam negeri, mereka tidak bisa berharap banyak karena konsumen domestik tidak menyukai ikan sidat dan juga karena harganya yang mahal.

"Untuk membudidayakannya juga ada persyaratan jika ingin ekspor ke Jepang sehingga pembudidaya ikan sidat sulit untuk ekspor ke sana," kata Nurdin.

Salah satu cara untuk bisa menembus pasar Jepang adalah dengan menjalin kerja sama terhadap perusahaan Jepang yang sebelumnya sudah berbisnis ikan sidat.

Nurdin bilang, ikan sidat cukup mahal karena proses perawatannya yang membutuhkan waktu lebih panjang, yakni 3-4 bulan. Adapun pakan utamanya adalah pelet dengan protein tinggi yang dijual seharga Rp 9.000 per kg. Selain itu, ikan juga butuh pakan tambahan berupa keong mas yang sudah dipotong-potong.

Dalam perawatannya pun, suplai oksigen harus dijaga karena ikan sidat membutuhkan air dengan tingkat larutan oksigen tinggi. Adapun tingkat kehidupan rata-rata ikan sidat tersebut mencapai 75 persen dari bibit yang ditebar. "Jika ingin detailnya, maka silakan datang ke BLU Tambak Pandu Karawang. Kami akan berikan informasi detailnya," undang Nurdin.

Saat ini di BLU Pandu Karawang terdapat mitra kerja sama dari Jepang, yakni Asama Industry Co Ltd. Mitra ini bekerja sama dengan PT Suri Tani Pemuka yang melakukan kerja sama untuk memproduksi ikan sidat di BLU Pandu Karawang. Ikan sidat yang sudah diproduksi tersebut bisa diekspor langsung ke Jepang karena sudah ada yang menampung. Sayang, Made tidak mau menyebutkan angka ekspor dari perusahaan mitranya tersebut.

Saat ini yang dibutuhkan oleh pembudidaya ikan sidat adalah membuka kerja sama dengan pemasok ikan sidat yang ada di pasar dunia. Menurut Made, pasar yang sangat menarik dan belum banyak disentuh adalah pasar ikan sidat untuk kebutuhan non-Jepang. "Yang mengonsumsi itu tidak hanya Jepang. Taiwan, Korea, dan China juga sangat menyukai ikan ini," ungkap Made.

Butuh proteksi ekspor benih

Masalah yang dihadapi oleh pembudidaya ikan sidat ini adalah masalah daya saing yang ketat dengan negara produsen lainnya. Negara yang sudah mengembangkan budidaya ikan sidat ini adalah Vietnam dan Korea, demikian juga dengan Jepang sendiri. Anehnya, kata Made, budidaya di dua negara tersebut mendapatkan benih ikan sidat dari Indonesia.

Padahal, kata Made, Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah memproteksi ekspor benih ikan sidat dengan alasan guna melindungi spesies dan untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. "Namun, pembudidaya ikan sidat di Jepang itu sendiri ternyata adalah orang Indonesia," ungkap Made.

Termasuk yang ada di Korea dan juga Vietnam, benih ikan sidat itu diindikasi berasal dari Indonesia. Made mengindikasi bahwa banyak benih ikan sidat dari Indonesia berseliweran keluar negeri dan dibudidayakan di luar negeri. "Kontainer saja yang besar bisa diselundupkan, apalagi benih yang kecil ini," ujar Made.

Jika penyelundupan benih itu bisa diatasi, maka produksi ikan sidat dari budidaya di dalam negeri bisa sangat diandalkan sebagai nilai tambah bagi pembudidaya di dalam negeri, termasuk menambah devisa negara. (Asnil Bambani Amri/Kontan)kan sidat ikan sidat ikan sidat ikan sidat ikan sidat ikan sidat ikan sidat

Kamis, 18 Maret 2010

Scenario Planning

Traditional forecasting techniques often fail to predict significant changes in the firm's external environment, especially when the change is rapid and turbulent or when information is limited. Consequently, important opportunities and serious threats may be overlooked and the very survival of the firm may be at stake. Scenario planning is a tool specifically designed to deal with major, uncertain shifts in the firm's environment.

Scenario planning has its roots in military strategy studies. Herman Kahn was an early founder of scenario-based planning in his work related to the possible scenarios associated with thermonuclear war ("thinking the unthinkable"). Scenario planning was transformed into a business tool in the late 1960's and early 1970's, most notably by Pierre Wack who developed the scenario planning system used by Royal Dutch/Shell. As a result of these efforts, Shell was prepared to deal with the oil shock that occurred in late 1973 and greatly improved its competitive position in the industry during the oil crisis and the oil glut that followed.

Scenario planning is not about predicting the future. Rather, it attempts to describe what is possible. The result of a scenario analysis is a group of distinct futures, all of which are plausible. The challenge then is how to deal with each of the possible scenarios.

Scenario planning often takes place in a workshop setting of high level executives, technical experts, and industry leaders. The idea is to bring together a wide range of perspectives in order to consider scenarios other than the widely accepted forecasts. The scenario development process should include interviews with managers who later will formulate and implement strategies based on the scenario analysis - without their input the scenarios may leave out important details and not lead to action if they do not address issues important to those who will implement the strategy.

Some of the benefits of scenario planning include:

*

Managers are forced to break out of their standard world view, exposing blind spots that might otherwise be overlooked in the generally accepted forecast.
*

Decision-makers are better able to recognize a scenario in its early stages, should it actually be the one that unfolds.
*

Managers are better able to understand the source of disagreements that often occur when they are envisioning different scenarios without realizing it.

The Scenario Planning Process

The following outlines the sequence of actions that may constitute the process of scenario planning.

1.

Specify the scope of the planning and its time frame.
2.

For the present situation, develop a clear understanding that will serve as the common departure point for each of the scenarios.
3.

Identify predetermined elements that are virtually certain to occur and that will be driving forces.
4.

Identify the critical uncertainties in the environmental variables. If the scope of the analysis is wide, these may be in the macro-environment, for example, political, economic, social, and technological factors (as in PEST).
5.

Identify the more important drivers. One technique for doing so is as follows. Assign each environmental variable two numerical ratings: one rating for its range of variation and another for the strength of its impact on the firm. Multiply these ratings together to arrive at a number that specifies the significance of each environmental factor. For example, consider the extreme case in which a variable had a very large range such that it might be rated a 10 on a scale of 1 to 10 for variation, but in which the variable had very little impact on the firm so that the strength of impact rating would be a 1. Multiplying the two together would yield 10 out of a possible 100, revealing that the variable is not highly critical. After performing this calculation for all of the variables, identify the two having the highest significance.
6.

Consider a few possible values for each variable, ranging between extremes while avoiding highly improbable values.

7.

To analyze the interaction between the variables, develop a matrix of scenarios using the two most important variables and their possible values. Each cell in the matrix then represents a single scenario. For easy reference in later discussion it is worthwhile to give each scenario a descriptive name. If there are more than two critical factors, a multidimensional matrix can be created to handle them but would be difficult to visualize beyond 2 or 3 dimensions. Alternatively, factors can be taken in pairs to generate several two-dimensional matrice. One of these scenarios most likely will reflect the mainstream views of the future. The other scenarios will shed light on what else is possible.
8.

At this point there is not any detail associated with these "first-generation" scenarios. They are simply high level descriptions of a combination of important environmental variables. Specifics can be generated by writing a story to develop each scenario starting from the present. The story should be internally consistent for the selected scenario so that it describes that particular future as realistically as possible. Experts in specific fields may be called upon to devlop each story, possibly with the use of computer simulation models. Game theory may be used to gain an understanding of how each actor pursuing its own self interest might respond in the scenario. The goal of the stories is to transform the analysis from a simple matrix of the obvious range of environmental factors into decision scenarios useful for strategic planning.
9.

Quantify the impact of each scenario on the firm, and formulate appropriate strategies.

An additional step might be to assign a probability to each scenario. Opinions differ on whether one should attempt to assign probabilities when there may be little basis for determining them.

Business unit managers may not take scenarios seriously if they deviate too much from their preconceived view of the world. Many will prefer to rely on forecasts and their judgement, even if they realize that they may miss important changes in the firm's environment. To overcome this reluctance to broaden their thinking, it is useful to create "phantom" scenarios that show the adverse results if the firm were to base its decisions on the mainstream view while the reality turned out to be one of the other scenarios.
Recommended Reading

Wack, Pierre. "Scenarios: Uncharted Waters Ahead." Harvard Business Review 63, no. 5 (1985)

Rabu, 17 Maret 2010

Artikel 1: Investasi pertambangan dan energi

MESDM

A. Faktor Eksternal

1. Otonomi daerah
Dengan diberlakukannya otonomi daerah pada 1 Januari 2001 berdasarkan UU Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999 mengenai kewenangan-kewenangan yang diserahkan ke daerah dan yang diserahkan ke pusat. Untuk sektor pertambangan dan energi, minyak dan gas bumi dipegang oleh pusat sedangkan pertambangan umum dipegang oleh daerah.

UU No. 25 tahun 1999 mengenai PKPD (Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah) dimana dalam otonomi ini minyak dan gas bumi, perimbangannya untuk minyak, di pusat sebesar 85% dan daerah sebesar 15%. Untuk gas di pusat sebesar 70% dan daerah sebesar 30% tetapi untuk pertambangan umum di pusat mendapatkan 20% dan daerah 80%. Tetapi yang terutama hambatan terjadi karena ada satu proses transisi yang saat ini terjadi dimana limpahan dari pusat ke daerah kewenangannya tidak begitu mulus karena memang disadari bahwa di daerah belum sepenuhnya siap menjalani otonomi daerah terutama di sector pertambangan dan energi yang memerlukan kemampuan SDM dan kapital dana yang cukup besar bagi pengembangan sumber-sumber pertambangan dan energi dan juga kemampuan teknologi dan perhatian terhadap lingkungan hidup.
(jd)

Indonesia Disandera Kapitalisme Global

EKONOMI: Kapitalisme Global
Oleh Hidayatullah Muttaqin

Hari ini (14/8) dalam pidato kenegaraan di depan Sidang Paripurna DPR RI, Presiden SBY menyampaikan pandangannya tentang paradigma dan strategi pembangunan ekonomi. Menurut SBY, Indonesia tidak boleh terjerat Kapitalisme Global.

Sebagaimana dipetik Kompas.com (14/8), presiden mengatakan: “Paradigma dan grand strategy pembangunan ekonomi seperti itulah yang mesti kita anut dan perkokoh. Intinya kita tidak boleh terjerat, menyerah, dan tersandera oleh kapitalisme global yang fundamental yang sering membawa ketidakadilan bagi kita semua.”

Pernyataan presiden tersebut terasa sangat mempesona. Sepertinya rakyat memiliki seorang pemimpin yang berani melawan arus politik ekonomi global. Namun sayangnya, realitas paradigma dan track record kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan presiden SBY justru bertolakbelakang dengan ucapan-ucapannya.

Begitu pula, track record bagaimana SBY berhadapan dengan publik sudah diketahui umum bahwa ia merupakan orang yang gemar membangun citra dirinya dari pada bertindak sesuai ucapannya. Di bawah kepemimpinannya, birokrasi pusat hingga ke daerah lebih sibuk memoles “gincu” dalam bentuk iklan-iklan di media elektronik dan cetak dari pada menyelesaikan permasalahan negara dan masyarakat.

Sementara itu, realitas paradigma kebijakan pemerintah tetap setia pada liberalisme ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah justru membangun keterikatan dengan lembaga-lembaga global Kapitalisme seperti organisasi perdagangan bebas dunia (WTO), IMF, World Bank, dan ADB.

Satu contoh, betapa Indonesia terikat dengan Kapitalisme global adalah upaya pemerintah menyerahkan harga BBM pada mekanisme pasar internasional. Ini artinya pemerintah menyerahkan harga komoditas BBM (yang sebagian sumber dayanya ada di negeri sendiri) mengikuti turun naiknya harga minyak mentah yang ditentukan oleh para penjudi (spekulan) di lantai bursa dunia.

Ketika Mahkamah Konstitusi melarang pemerintah menetapkan harga BBM berdasarkan harga pasar internasional, pemerintah pun mengakalinya dengan mengubah istilahnya menjadi harga kekinian.

Sungguh kita mengetahui begitu beratnya dampak dari kenaikan harga BBM bagi masyarakat khususnya lapisan menengah ke bawah. Namun pemerintah tidak bergeming.

Inilah satu contoh negara kita dan pemimpin negeri ini telah mengikatkan tali Kapitalisme Global sehingga Indonesia tersendera. Dan untuk itu, penguasa negeri ini terus melakukan kebohongan publik dengan konsekwensi semakin langgengnya penjajahan Kapitalisme Global di Indonesia. [JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS/ www.jurnal-ekonomi.org]

Google Tutup Kantor Di Cina

Topik: Announcement, Google, Internet, News
Dikarenakan perundingan antara pihak Google dan pemerintah Cina, mengenai sensor internet, menemui jalan buntu maka Google memutuskan untuk menutup kantornya di Cina. Kepastian ini muncul karena sulitnya menemukan titik temu di antara keduanya.
Asal muasal peristiwa ini adalah usaha menjebol akun mail Google oleh para hacker Cina. Diperkirakan, serangan ini dilakukan untuk melacak pergerakan aktivitis hak asasi manusia di seluruh dunia yang memakai layanan e-mail mereka. Google pun naik pitam dan mengeluarkan ancaman bahwa mereka akan hengkang dari China jika harus menyensor hasil pencarian di mesin pencarinya.
Hmmm…kita tunggu kabar berikutnya.

G20: Sarana Baru Imperialisme Barat

December 22nd, 2009 in JURNAL | 1 Comment »
Oleh Hidayatullah Muttaqin
Tulisan ini dimuat di Jurnal Al-Waie Edisi November 2009


Pengantar

KTT G-20 di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat 24-25 September lalu menjadi babak baru bagi perekonomian dunia dengan diubahnya status forum ini menjadi permanen. Otomatis G-20 menghapus G-8 sebagai kelompok ekonomi terbesar di dunia. G-20 menghimpun dua pertiga penduduk dunia dengan nilai ouput mencapai 90% PDB global dan menguasai 80% transaksi perdagangan internasional.

KTT G-20 di Pittsburgh juga menghasilkan keputusan meningkatkan keterlibatan negara-negara berkembang di IMF. Di samping itu, G-20 tetap mempertahankan langkah stimulus, meningkatkan kuantitas dan kualitas modal bank, pemangkasan gaji dan bonus para eksekutif di sektor perbankan, dan penghapusan tempat bebas pajak (tax heaven). Anggota G-20 juga sepakat untuk menghapus subsidi bahan bakar fosil yang memperparah pemanasan global.

G-20 merupakan sebuah forum baru yang mempertemukan negara-negara kaya yang sebelumnya terhimpun dalam G-8 dengan negara-negara berkembang dengan skala ekonomi yang cukup besar. Keberadaan G-20 didorong oleh pukulan krisis keuangan global yang “bersumbu” di AS. Apa yang melatarbelakangi G-20 dan siapa yang memanfaatkan keberadaan organisasi ini? Bagaimana posisi Indonesia serta konsekwensinya bagi perekonomian dunia? Tulisan ini berusaha mengulas pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Melemahnya Hegemoni AS

Sejak didaulat memasuki resesi pada Desember 2007 hingga September 2009, jumlah pengangguran di negeri Paman Sam meledak dari 7,6 juta orang menjadi 15,1 juta orang (Bureau of Labor Statistics U.S. Department of Labor, News Release: The Employment Situation – September 2009). Di sisi lain, biaya krisis yang sudah dikeluarkan AS menyebabkan defisit terburuk sejak 1945. Sejak pemerintahan Obama dimulai, AS mengalami defisit APBN hingga US$ 1,4 trilyun (cboblog.cbo.gov, 7/10/2009).

Jumlah hutang pemerintah AS pun bertambah US$ 2,75 trilyun sejak resesi Desember 2007. Di awal resesi hutang AS mencapai US$ 9,15 trilyun dan kini sudah menyentuh US$ 11,90 trilyun (treasurydirect.gov). Akibatnya beban pembayaran bunga juga bertambah besar tiga kali lebih banyak dari anggaran pendidikan AS. Kondisi ini menyebakan hegemoni AS di bidang ekonomi melemah.

Sikap penentangan terhadap dominasi AS secara terang-terangan ditunjukkan oleh negara-negara Kapitalis Eropa daratan (continental). Jerman dan Perancis mengecam dominasi AS dalam sistem keuangan global. Jerman menegaskan krisis telah menggerus status AS sebagai adidaya di bidang ekonomi sedangkan Perancis menginginkan diakhirinya sistem pasar bebas tanpa kontrol (euobserver.com, 26/9/2009).

Ada Apa dengan G-20?

Dalam forum G-20, AS berkepentingan mempertahankan hegemoninya. Karena itu arah strategi AS dalam penyelesaian krisis keuangan global tidak bertumpu pada perombakan sistem Kapitalisme. AS fokus pada pembiayaan dampak krisis keuangan yang dialaminya dalam bentuk bailout dan stimulus bukan merombak sistem keuangan. Begitu pula AS berupaya agar seluruh dunia terlibat dalam pendanaan dampak krisis sehingga partisipasi internasional dapat meringankan bebannya.

Dalam wawancara dengan Financial Times, Kepala Penasehat Ekonomi Gedung Putih, Lawrence Summers menyerukan para pemimpin dunia lebih banyak mengucurkan dana stimulus sebagai jalan untuk mendorong pertumbuhan global (ft.com, 8/3/2009). AS juga telah menganggarkan US$ 11,56 trilyun untuk memerangi krisis, di mana US$ 2,90 trilyun di antaranya dikeluarkan sebagai paket bailout dan stimulus ekonomi (bloomberg.com, 25/9/2009).

Sebaliknya, Jerman dan Perancis yang mewakili Uni Eropa berupaya menggeser dominasi AS dalam sistem keuangan global. Kedua negara ini mengarahkan G-20 pada reformasi sistem keuangan global, seperti masalah transparansi, pengurangan bonus “gila-gilaan” para eksekutif bank, penghapusan negara bebas pajak (tax heaven) yang menjadi surga penggelapan pajak, dan pembatasan transaksi derivatif (bbc.co.uk/indonesian, 1/4/2009).

Berdasarkan konstelasi geoekonomi tersebut, maka pertemuan demi pertemuan para pemimpin G-20 pada dasarnya hanya untuk merealisasikan visi kedua kutub ekonomi dunia ini. Karena itu deklarasi yang dihasilkan pada akhirnya hanyalah berisi poin-poin kompromi kedua belah pihak, bukan menyelesaikan sebab fundamental krisis keuangan global.

Meskipun demikian negara independen seperti China dan Rusia juga memiliki kepentingan terhadap G-20. China misalnya berkepentingan agar AS dan dunia tetap memiliki kekuatan permintaan dalam perdagangan internasional. Sebab jika terjadi penurunan permintaan AS dan dunia secara siknifikan dan berkelanjutan, maka imbasnya kembali ke negeri tirai bambu tersebut dalam bentuk penurunan ekspor, out put, dan tentu saja bertambahnya pengangguran.

Posisi Indonesia

Sejak keterlibatan Indonesia dalam pertemuan G-20 di level kepala negara, ada semacam kebanggaan Indonesia sudah setara dengan negara-negara maju, lebih strategis, dan gagasan-gagasan yang dilontarkan oleh Presiden SBY juga diadopsi menjadi keputusan G-20. Pandangan ini salah kaprah. Dengan berpijak pada konstelasi geoekonomi G-20, dapat kita lihat di mana posisi Indonesia.

Dalam KTT G-20 di Washington (15/11/2008), Presiden SBY menyampaikan proposal solusi krisis jangka pendek dengan menjamin tersedianya dana likuiditas dan menjaga kepercayaan perbankan. Untuk jangka menengah, SBY mengusulkan perlunya langkah-langkah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan fiskal dan moneter. Sedangkan jangka panjang, SBY mengusulkan reformasi sistem arsitektur keuangan global dengan melibatkan lebih besar lagi peran negara-negara berkembang (emerging market) ke dalam institusi keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia (presidensby.info, 16/11/2008).

Gagasan yang disampaikan Presiden SBY tersebut sesuai dengan visi AS dalam G-20. Pertama, pada solusi jangka pendek yang dilontarkan presiden, searah dengan kebijakan AS yakni jaminan dan bailout negara atas institusi keuangan/bank untuk memulihkan kepercayaan dan terjaganya likuiditas.

Kedua, solusi jangka menengah sesuai seruan AS agar negara-negara di dunia meningkatkan pengeluaran dalam bentuk stimulus fiskal dan ekonomi.

Ketiga, solusi jangka panjang dalam bentuk reformasi arsitektur keuangan global yang digagas presiden sebenarnya bukanlah sebuah gagasan untuk melakukan perubahan fundamental. Gagasan Indonesia justru memperkuat sistem keuangan global yang didominasi AS. Seperti tentang perlunya keterlibatan negara-negara berkembang dalam proporsi yang lebih siknifikan dalam IMF ataupun Bank Dunia, serta keterlibatan yang lebih luas dalam mensupport pendanaan bagi kedua lembaga Bretton Woods.

Di KTT G-20 London (2/4/2009), secara tidak langsung Presiden SBY kembali menegaskan dukungannya yang luas untuk kepentingan AS. Di London, Presiden SBY mengharapkan keterlibatan yang lebih luas bagi negara-negara berkembang pada institusi keuangan global. Dalam “bahasa SBY”, agar KTT G-20 dapat mewadahi kepentingan negara-negara berkembang (lihat presidensby.info, 3/4/2009).

Di Pittsburgh, Indonesia kembali memfokuskan G-20 pada keterlibatan negara-negara berkembang dalam penanganan krisis keuangan global dan resesi dunia, serta keinginan Indonesia agar G-20 menjadi forum permanen (presidensby.info, 25/9/2009). Dengan langkah ini, Indonesia berkonstribusi menjerumuskan negara-negara berkembang secara lebih dalam kepada imperialisme Barat di bidang ekonomi.

Jelaslah, keberadaan Indonesia memiliki peran penting untuk merealisasikan visi AS. Indonesia didesain menyampaikan gagasan-gagasannya secara independen tidak lain hanya untuk memperkuat posisi AS dalam forum G-20.

G-20 sebagai Sarana Imperialisme

Harapan agar G-20 memiliki peran yang besar dalam mengatasi krisis global, menciptakan kesetaraan dan keadilan hanya ilusi. Sebab G-20 tidak menjawab persoalan krisis secara subtansial melainkan lebih terarah untuk mempertahankan Kapitalisme baik Kapitalisme ala Anglo-Saxon (AS dan Inggris) maupun ala Eropa Continental (Jerman dan Perancis). Justru G-20 menjadi sarana baru bagi Barat dalam mempertahankan eksistensi penjajahannya atas dunia.

Pelibatan negara-negara berkembang dalam G-20 dan penataan institusi keuangan global tidak serta merta membuat posisi dunia ketiga terhadap negara-negara maju menjadi setara. Skenario ini justru semakin menguras sumber daya yang dimiliki negara-negara berkembang untuk membiayai krisis AS dan Eropa. Di sisi lain negara-negara berkembang didesain untuk meningkatkan ketergantung pada hutang melalui IMF dan Bank Dunia dengan dana yang diambil dari negara-negara berkembang yang kaya seperti Arab Saudi.

Keberadaan G-20 juga bukan untuk menggantikan peran IMF dan Bank Dunia. Namun, G-20 dibutuhkan Barat untuk menutupi ketidakmampuan dua lembaga ini dalam meredam dampak krisis keuangan global. Dengan G-20, Barat memiliki kekuatan lebih untuk mengorganisir kebijakan dan menghimpun dana dalam menyokong institusi keuangan global tersebut. Sebagaimana kesepakatan KTT G-20 di London yang menggalang sumber daya global untuk meningkatkan pembiayaan IMF tiga kali lipat menjadi US$ 750 milyar

Di G-20 negara-negara berkembang tetap menjadi subordinasi negara-negara maju. Mereka mengikuti apa saja yang diinginkan oleh Barat sebagaimana mereka dilarang melakukan proteksionisme dan harus meliberalisasi perekonomian domestik. Padahal negara-negara maju melakukan proteksionisme terselubung terhadap lembaga keuangan dan korporasi raksasa mereka dengan dana trilyunan dollar.

Melalui G-20 negara-negara berkembang terperangkap pada penghapusan subsidi bahan bakar fosil dengan alasan menanggulangi perubahan iklim. Aneh, pemanasan global yang diakibatkan konsumsi BBM secara rakus oleh negara-negara maju terutama AS yang menghabiskan seperempat konsumsi BBM dunia setiap harinya harus ditanggung oleh rakyat di belahan bumi selatan. Lebih aneh lagi Indonesia sangat bangga karena gagasan tentang mengatasi dampak perubahan iklim datang dari Presiden SBY yang memperkuat usulan penghapusan subsidi bahan bakar fosil berasal dari Presiden Obama.

Penutup

Secara ideologis, negara-negara Barat tidak dapat bertahan hidup untuk membiayai “kerakusan” sistem ekonominya kecuali melakukan penjajahan atas negara lain. Sebagaimana pandangan Taqiyuddin an-Nabhani, penjajahan merupakan metode baku Kapitalisme, sedangkan yang berubah hanya cara (uslub) dan sarananya.

Krisis keuangan global telah memunculkan G-20 sebagai sarana baru bagi Barat untuk mengatasi dampak krisis sekaligus mengefektifkan penjajahannya atas dunia Islam dan negara-negara berkembang. Patut disayangkan, Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia bukan saja terperangkan penjajahan Barat tetapi juga menjadi “ujung tombak” AS dalam merealisasikan agenda-agenda imperialismennya. Seharusnya Indonesia menjadi pionir bagi dunia Islam yang berani melepaskan keterikatan dengan ideologi Kapitalisme dan menghidupkan kembali sistem Khilafah yang pernah memimpin dunia.[]

Hidayatullah Muttaqin, SE, MSI adalah dosen tetap Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

PERANAN EKONOMI ISLAM DALAM TEORI EKONOMI MODERN

DR.H.RIDJALUDDIN.FN.,M.Ag


1. AL QUR'AN & HADIST TENTANG EKONOMI ISLAM

Sebelum mengamati bagaimana peranan ekonomi Islam dalam beberapa teori ekonomi modern perlu kiranya bagaimana al-Qur’an & Al-Hadits menyatakan tentang hal-hal tersebut, umpamanya tentang permasalahan larangan Islam terhadap Riba: Tahap Pertama : Allah SWT dalam firmanNya menyatakan bahwa [1]:



وَمَآءَاتَيْتُم مِّن رِّبًا لِيَرْبُوا فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوا عِندَ اللهِ وَمَآءَاتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ



Artinya : "Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)"



Tahap kedua : Allah dalam firmanNya menyatakan [2] :



وَأَخْذِهِمُ الرِّبَاوَقَدْنُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا



Artinya: "Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir dl antara mereka itu siksa yang pedih. "



Tahap ketiga, Allah mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas. Hal ini disampaikan oleh Allah SWT dalam firmanNya menyatakan bahwa : [3]





يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ



Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. "



Tahap terakhir, Allah mengharamkan riba secara total dengan segala bentuknya. dalam firman Allah SWT dinyatakan bahwa [4].



الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةُُ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ {275} يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ {276}



Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual bell itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual bell dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni penghuni neraka; mereka kekal dl dalamnya (275). Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa"(276)



Terakhir dalam firman Allah SWT dinyatakan bahwa : [5]



يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ



"Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. "



Syirkah ; Landasan firman Allah SWT menyatakan bahwa [6];

فَهُمْ شُرَكَآءُ فِي الثُّلُثْ
Dan dalam firman Allah Rabbul Izzati menyatakan bahwa; [7];



وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَآءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّاهُمْ



landasan Hadistnya, Nabi saw, bahwa beliau bersabda, Allah SWT berfirman dalam ayatNya [8] :



فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ



Artinya; Maka apabila telah ditunaikan shalat, maka hendaklah kamu bertebaran di muka bumi dan carilah karuinia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.



Dalam firman Allah SWT menyatakan bahwa ; [9]



لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن

Artinya : Tidaklah dosa bagi kamu untuk mencari karunia dari Tuhanmu.



Dalam hadist Rasulullah Saw dinyatakan :

"Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthallib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah la mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, maka yang bersangkutan bertanggung ja wab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah dan Rasulullah pun membolehkannya. " ( H . R Thabrani).



Dari Shalih bin Suhaib bah wa Rasulullah bersabda: "Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dyual." ( HR Thabrani dan Ibnu Majah)



"Tiada seorang muslim pun yang menaburkan benih atau menanam tanaman, lalu seekor burung, atau seorang atau seekor binatang makan sebagian dari padanya, kecuali akan dinilai sebagai shadaqah."(HR.Bukhari Muslim)

Carilah rizki dari tumbuh-tumbuhan bumi (HR. Tirmidzi)

Dari ibnu Umar bahwasanya Rasulullah SAW, telah melakukan mu'amalah dengan penduduk Khaibar dengan separoh hasil yang keluar dari buah atau biji-bijian. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan pada satu riwayat bagi keduanya: "Mereka minta kepadanya (Rasul) supaya beliau membiarkan mereka dengannya (garapan), dengan syarat bahwa mereka akan menggarap tanah itu dengan mendapat separoh dari buahnya. Maka Rasulullah SAW berkata kepada mereka : Kami perkenankan kalian padanya menurut syarat itu selama kami kehendaki ". Maka mereka tetap padanya sampai Umar keluarkan mereka dari padanya. (HR Bukhari, Muslim)

Muzara'ah yg Terlarang karena : Mengandung unsur penipuan dan spsekulasi ; riwayat dari Handhalah bin Qais menyatakan :



"Orang-orang di zaman Rasulullah SAW, menyewakan tanah dengan barang yang tumbuh di perjalanan dan yang tumbuh di pinggir pinggir selokan dan dengan beberapa macam dari tumbuh-tumbuhan, lalu binasa ini, selamat itu. Dan selamat Itu binasa ini, dan tidak ada bagi orang-orang sewa menyewa selain ini. Oleh sebab Itu Rasululah SAW, melarang padanya. Adapun sesuatu yang ma 'lum dan ditanggung, maka boleh (H R. Muslim)

Khudaij memberitakan bahwa ;

"Kami kebanyakan pemilik tanah di Madinah melakukan muzara ah, kami menyewakan tanah, satu bagian dari padanya diperuntukan bagi pemilik tanah, maka kadang-kadang (garapan yang hasilnya diperuntukan bagi) si pemilik tanah itu ditimpa bencana, sedangkan tanah garapan yang lainnya selamat. Dan kadang-kadang yang lain Itu ditimpa bencana, sedang yang lainnya selamat. Oleh karenanya kami dilarang ( H R. Bukhari )

Musaqah: Kerjasama untuk tanaman tahunan, dasar hukum dibolehkannya melakukan musaqah antara lain adalah hadis Rasulullah SAW:



Dari ibnu Umar bahwasanya Rasulullah SAW, telah melakukan mu'amalah dengan penduduk Khaibar dengan separoh hasil yang keluar dari buah atau biji-bijian. (HR. Bukhari dan Muslim).



Mudharabah, berlandasan firman Allah SWT yang menyatakan bahwa :[10]



ءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي اْلأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللهِ



Artinya : Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah



Dan dalam firman Allah SWT dinyatakan bahwa[11]



: فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ



Artinya :Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah kepada Allah sebanyak-banyaknya, mudah-mudahan kamu berbahagia.



2. KEJAYAAN ISLAM TERHADAP TEORI EKONOMI



Banyak sekali teori teori ekonomi modern yang sekarang berkembang diseantero dunia dan dipelajari oleh bangsa-bangsa merupakan pencurian dari teori-teori yang ditulis oleh para ekonom Muslim pada zaman kejayaan Islam yaitu kejayaan Islam pada masa Daulat Umayyah dan Daulat Bani Abbasiyah. Hal ini tidak dapat dipungkiri, sebab para ekonom Barat yang melakukan jiplakan terhadap teori ekonomi Islam mereka tak menyebut sumber-sumber yang berasal dari kitab-kitab klasik Islam.

Sewaktu negara-negara Muslim dijajah ditindas beratus tahun lamanya oleh penjajah Barat hingga keadaan perekonomian orang-orang Muslim jauh tertinggal, para pemikir Islam yang mendapat pendidikan Barat mulai terkesima akan kemajuan ekonomi Barat. Akibatnya mereka menjadikan Negara Barat sehagai sumber teori-teori ekonomi yang mereka anggap andal.[12]' Mereka tidak mempunyai akses terhadap buku klasik Islam yang sebenarnya menjadi sumber rujukan bagi ekonomi Barat yang mereka kagumi, walaupun para ekonom Barat tersebut tidak pernah mau mengakui proses pencurian dan memboyongnya ke negerinya tersebut,

Kemajuan Eropah (biasa disebut dengan Barat) memang bersumber dari khazanah ilmu pengetahuan dan metode barpikir Islam yang rasional. Diantara saluran masuknya peradabaiv Islam ke Barat itu adalah Perang Salib, Sicilia, dan yang terpenting adalah Spanyol menjadi Islam. Eropah yang datang belajar kesana, kemudian menerjemahkan karya-karya ilmiah umat Islam. Hal ini dimulai sejak abad ke 12 M.[13] Setelah mereka pulang kenegerinya masing-masing, mereka mendirikan universitas dengan meniru pola Islam dan mengajarkan ilmu ilmu yang dipelajari di universitas-universitas Islam itu. Dalam perkembangan berikutnya, keadaan ini melahirkan renaissance, reformasi, dan rasionalisme di Barat.

Sebaliknya para pemikir Muslim yang mendapat pendidikan di pesantren tradisional yang mempunyai akses terhadap buku-buku klasik Islam (kitab Kuning orang Jawa menyebutnya) yang merupakan sumber pencurian para ekonom Barat, tidak menguasai metodologi ilmu ekonomi, sehingga mereka kurang dapat menghargai pemikiran cemerlang yang ada pada kitab kitab klasik tersebut sebagai suatu ilmu di dunia Barat sangat dikedepankan.

Kelompok ketiga para pemikir Muslim adalah mereka yang mendapat pendidikan Barat namun mempunyai minat (Ghirah[14]) Islam yang tinggi, sehingga mereka menolak teori-teori ekonomi Barat yang dianggap "Tidak Islami", tanpa mereka menyadari bahwa banyak dari teori-teori ekonomi Barat tersebut sebenarnya merupakan hasil pencurian dari kitab-kitab klasik Islam. Akibatnya, secara tidak sadar mereka menolak pemikiran ekonomi Islam itu sendiri. Mereka cenderung memposisikan diri untuk menolak seluruh yang datang dari para ekonom Barat

3. PERANAN EKONOMI ISLAM DALAM TEORI EKONOMI MODERN

Seorang sarjana Eropah bernama Josep Schumpeter[15] mengatakan bahwa adanya jurang pemisah yang besar dalam sejarah pemikiran ekonomi selama kurang lebih lima ratus tahun yang lalu, yaitu masa yang dikenal sebagai masa kegelapan. Masa kegelapan kebodohan dan keterbelakangan Eropah tersebut sebenarnya adalah masa kegemilangan dan kejayaan Islam,yaitu pada masa Daulat Bani Umayyah dan Daulat Bani Abasiyah, Islam berkembang pesat sampai ke Spanyol oleh tokohnya yang terkenal Tariq bin Siyad. Suatu hal yang mereka sembunyikan oleh Eropah sebab pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada masa inilah yang kemudian banyak dicuri oleh para ahli ekonomi Barat dan diboyong ke negaranya ditelaah dan dikembangkannya.

Para ahli ekonomi Muslim sendiri mengakui banyak membaca dan dipengaruhi oleh tulisan tokoh Yunani: Aristoteles sebagai filosuf yang banyak menulis masalah masalah ekonomi, namun tetap memegang teguh kepada al Qur'an dan al Hadits Rasulullah Saw sebagai sumber (rujukan) yang utama mereka dalam menulis teori-teori ekonomi yang Islam.

Schumpeter menyebutkan dua kontribusi ekonom Scholastic, yaitu penemu kembali tulisan-tulisan Aristoteles dan Towering Achievement St Thomas Aquinas. Schumpeter hanya menufiskan tiga baris dalam catatan kakinya nama Ibnu Rusyd dalam kaitan proses transmisi pemikiran-pemikiran Aristoteles ke St Thomas Aquinas.

Pemikiran-pemikiran St Thomas Aquinas tentang ekonomi sendiri banyak bertentangan dengan dogma-dogma gereja, sehingga kebanyakan sejarawan menduga bahwa St Thomas Aquinas mencuri ide-ide tersebut dari ekonom ekonom Islam.

Proses pencurian ilmu ekonomi Islam oleh dunia Barat mengambil beberapa bentuk, yang antara lain dapat digambarkan sebagai berikut. Dalam abad ke 11 dan ke 12, sejumlah pemikir Barat seperti Constantine the African, Adelard of Bath sengaja melakukan perjalanan ke Timur Tengah, belajar bahasa Arab, dan melakukan penggalian serta membawa ilmu ilmu baru (Islam) ke Eropah. Misalnya, Leonardo Fibonacci belajar di Bougie, Aljazair pada abad ke 12, belajar aritmatika dan matematikanya Al- Khawarizmi dan sekembalinya menulis beberapa buku diantaranya Liber Abaci pada tahun 1202[16]

Belakangan banyak mahasiswa dari Italia, Spanyol, dan Prancis Selatan yang belajar di Pusat Perkuliah Islam untuk belajar berbagai ilmu antara lain matematika, filsafat, kedokteran, kosmografi, dan menjadi kandidat guru besar di universitas-universitas pertama di Barat yang menggunakan pola pengajaran di Pusat Perkuliah Islam, termasuk kurikulum, serta metodologi pemblajaranya.[17]

Universitas Naples, Padua, Salerno, Toulouse, Salamaca, Oxford, Montpelleir, dan Paris adalah beberapa Negara yang meniru Pusat-Pusat Perguruan Islam (Jamiah Islamiyah) di Timur Tengah. Sepulangnya Raymond Lily tahun 1223 -1315.M yang telah melakukan perjalanan jauh ke Negara-negara Arab, ia mampu berbahasa Arab, banyak menulis tentang kekayaan keilmuan Arab, the Council of Vienna di tahun 1311 Masehi dengan bangga mendirikan lima universitas yang mengajarkan bahasa Arab, hingga banyak yang kemudian menerjemahkan karya ekonom Islam[18] Beberapa penerjemah karya-karya Islam kedalam bahasa mereka antara lain ialah : Adelard of Bath, Constantine the African, Michael Scot, Herman the German, Dominic Gundislavi, John of Seville, Plato of Tivoli, William of Luna, Robert Chester, Gerard of Cremona, Theodorus of Antioch, Alferd of Sareshel, Berengar of Valencia, dan Mathew of Aquasparta.

Beberapa penerjemah bangsa Yahudi adalah Jacob of Anatolio, Jacob ben Macher Ibn Tibbon, Kalanymus ben Kalonumus, Moses ben Solomon of Solon, Shem-Tob ben Isaac of Tortosa, Solomon ibn Ayyub Todros Todrosi, Zerahiah Gracian, Faraj ben Salim, Yaqub ben Abbon Marie.[19]

Sedangkan karya-karya ekonom Islam yang diterjemahkan oleh para ekonom Barat adalah karya-karya AI Kindi, AI Farabi, Ibnu Sina, Imam AI Ghazali, Ibnu Rusdy, AI Khawirizmi, Ibnu Haythan, Ibnu Hazn, Jabir Ibnu Hayyan, Ibnu Bajja, dan Ar Razi.

Beberapa lembaga ekonomi yang ditiru oteh Barat dari dunia Islam adalah syirkah (serikat dagang), suftaja (bills of exchange), hawala (letter of credit), funduq (specialized large scale commercial institutions and markets which developed into virtual stock axchanges. Funduq untuk biji-bijian dan tekstil ditiru dari Bagdad, Cordova, dan Damaskus. Dar-ut tiraz (pabrik yang didirikan dan dijalankan Negara) didirikan di Spanyol, Sicilia, Palerno.[20]

Mauna (sejenis private bank), yang dikenal di Barat sebagai Maona, di Tuiscany didirikan untuk membiayai usaha eksploitasi tambang besi dan perdagangan besi.[21] Beberapa pemikiran ekonom Islam yang dicuri ekonom Barat tanpa pernah menyebut sumber kutipannya, antara lain Teori Pareto Optimum diambil dari kitab nahjul Balaghah karya Imam Ali; Bar Hebraeus, pendeta Syirac Jacobite Church, menjalin beberapa bab Ihya Ulumuddin karya AI Ghazali[22] Greshan Law dan Oresme Treatise diambil dari kitab karya Ibnu Taimiyah; Pendeta Gereja Spanyol Ordo Diminican, Raymond Martini, menyalin banyak bab dari Tahafut al Falasifah, Maqasid ul Falasifa, Al Munqid, Mishkat ul Anwar, dan Ihya-nya AI Ghazali [23]

Ekonom St Thomas menjalin banyak bab dari Farabi (St Thomas yang belajar di Ordo Dominican mempelajari ide-ide Imam Al Ghazali dari Bar Hebraeus dan Martini )[24] ; Bahkan bapak Ekonomi Barat, Adam Smith pada tahun 1776. M, dengan bukunya The Wealth of Nation diduga banyak rriendapat inspirasi dari buku AlAmwaknya Abu Ubaid di tahun 838 ; M yang dalam bahasa Inggrisnya adalah persis judul bukunya Adam Smith, The Wealth. Demikianlah yang terjadi pada masa itu ternyata ilmu-ilmu Islam telah diboyong oleh ekonom Barat demikian banyaknya.



Bagaimana Ekonomi Islam periode kedua pada tahun 1058 1446 Masehi ?



Menurut catatan sejarah bahwa para ekonom Islam pada periode kedua antara lain ialah : Al Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Syamsuddin AI Sarakhsi, Nizamun Mulk Tusi, Ibnu Mas'ud AI Kasani , AI Shaizari, Fakhruddin AI Razi, Najmudin AI Razi; Ibnul Ukhuwa, Ibnu Qayyim, Muhamad bin Abdurrakhman al Habashi, Abu Ishaq al Shatibi, AI Maqrizi, AI Qushayri, AI-Hujwayri, Abdul Qadir Jailani, AI Attar, Ibnu Arabi, Jalaluddin Rummi, Ibnu Baja, Ibnu Tufayl, Ibnu Rusdy. mereka itulah para ahli ekonomi Islam terbaik dimasa itu

AI-Ghazali (Ekonom Islam yang terkenal nama lengkapnya Abu Hamid Al-Ghazali dilahirkan dl Thus, salah satu kota dl negeri Khurasan Persi, tahun 450 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1058 Masehi) menjelaskan bahwa kebutuhan dasar termasuk juga alat-alat untuk kebutuhan rumah tangga yang diperlukan, furniture, peralatan pernikahan, alat-alat untuk membesarkan keluarga, dan beberapa asset lainnya. AI-Ghazali juga memperkaya ekonomi Islam dengan topic pembagian kerja dan teori evolusi uang. AI-Ghazali juga mengecum penimbunan uang di bawah lantai atau bantal, karena uang diciptakan untuk memfasilitasi perdagangan, dan penimbunan uang di bawah lantai atau bantal akan mengeluarkan uang dari proses perdagangan ini.

Tokoh ekonom Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan tugas kemasyarakatan meliputi manajemen uang, peraturan tera timbangan dan ukuran, control harga bila diperlukan, dan keadaan abnormal yang dapat dibolehkan memungut zakat di atas apa yang ditetapkan oleh syariah. Ibnu Taimiyah tidak saja berbicara tentang norma-norma ekonomi, namun juga menerangkan tentang hal-hal yang positif dalam ekonomi. Antara lain mekanisme penawaran dan permintaun dalam menentukan harga. Ibnu Taimiyah juga menjelaskan pajak tidask langsung dan bagaimana beban pajak tersebut dialihkan dari produsen kepada konsumen yang harus membayar harga yang lebih tinggi.

Tokoh ekonomi Islam Ibnu Khaldun membahas tentang pembagian kerja, uang dan harga, produksi penyaluran barang, merek dagang yang mendunia, pembentukan modal dan pertumbuhan, trade cyclys, property and prosperity (kemakmuran), kependudukan, pertanian, industri & trade macro economic of taxation (pajak), dan public expenditure.

Leffler, penasehat ekonomi mantan Presiden Ronaici Reagen dari Amerika, yang menemukan teori Laffler Curve, berterus terang mengatakan bahwa ia memang mengambil ide-ide Ibnu Khaidun. Tokoh ekonom Islam Ibnu Khaldun menawarkan konsep untuk mengatasi resesi dunia, yaitu mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah; "Pemerintah adalah pasar terbesar, ibu dari semua pasar, dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya, Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, maka adalah wajar bila pasar yang lain pun ikut menurun, bahkan dalam agregat yang lebih besar"



Bagaimana ekonomi Islam periode ketiga pada tahun 1446- 1931 Masehi ? Tokoh-tokohnya antara lain ialah : Shah Waliullah Al Delhi, Muhammad Abdul Wahab, Jamaluddin AI Afghani, Mufti Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Ibnu Nujaym, Ibnu Abidin, Syekh Ahmad Sirhindi.

Tokoh ekonom Islam Shah Waliullah, menjelaskan pentingnya kerjasama sebagai dasar kegiatan ekonomi. Dilarang perjudian dan riba adalah sebab bertentangan dengan prinsip kerjasama tersebut. Semua tempat pada dasarnya adalah sperti mesjid atau tempat beristirahat untuk orang yang melakukan perjalanan. Mereka menggunakan secara bersama dengan dasar first come first served (yang datang duluan mendapat pelayanan duluan). Makna kepemilikan bagi manusia adalah ia lebih berhak untuk menggunakan untuk menggunakan dari yang lain.

Shah Walilullah juga menjelaskan perlu adanya pemerintah yang memiliki pegawai untuk menjaga keamanan, hukum dan peraturan, peradilan dan lain sebagainya, serta untuk membangun jembatan, jalan, gedung dan lain sebagainya: Oleh karena itu, pajak diperlukan untuk memenuhi pengeluaran rutin dan perigeluaran pembangunan yang bila tidak dilakukan oleh pernerintah akan sulit untuk dilakukan oleh rakyat atau jauh di luar kemampuan rakyat untuk melakukannya.



4. EKONOMI MIKRO DALAM PRESPEKTIF EKONOMI ISLAM

Berbeda dengan pemikiran ekonomi modern mengenai asumsi rasionalitas manusia sebagai homo economicus yang menunjukkan perilaku memaksimalkan keuntungan dan kepuasannya. Dalam konsepsi pemikiran ekonomi Islam mengenai manusia yang mendapat predikat yang khas yaitu "Ibaddurrahman" (hamba Allah Yang Pengasih)



وَعِبَادُ الرَّحْمَانِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى اْلأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَاخَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلاَمًا

Dan hamba-hamba yang Maha Pengasih ialah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati. Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka berkata (yang mengandung) keselamatan. QS 25:63, Surat Al Furqan ayat 63)



Perilaku seorang Ibadurrahman akan dipandang rasional bila dalam tingkah laku dan perbuatannya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Seperti: membalas ucapan-ucapan orang-orang j ahil dengan perkataan yang menyakitkan hati tetapi bila perlu membalasnya dengan ucapan yang baik. Perilaku manusia yang rasional manakala dia dapat memaksimalkan nilai-nilai konformitas sesuai dengan norma Islam. Jadi dalam prespektif ekonomi Islam pengertian rasional tidak selalu sejalan dengan pengertian maksimisasi secara material (kebendaan). Rasionalitas dalam prespektif Islam manakala mencakup elemen-elemen dasar sebagai berikut; 1. Konsep sukses dalam Islam selalu dikaitkan dengan nilai-nilai moral. 2. Skala waktu dalam konsumsi 3. Konsep kekayaan. 4. Konsep barang 5. Konsep Etika. Penjelasan dari :konsep di atas menurut Siddiqi (Sarjana Muslim) adalah sebagai berikut:



l. Konsep sukses dalam Islam selalu dikaitkan dengan nilai-nilai moral: Manakala perilaku seseorang selalu dikaitkan dengan standar nilai yang baku semakin tinggi kualitas kebaikan (akhlak) nya semakin sukses orang tersebut.

2. Skala waktu bagi seorang muslim adalah kehidupan di dunia sampai akhirat. Keimanan akan kehidupan akhirat (wafil akhirati hasanah) menjadi pengendali dalam setiap perilakunya. Aspek ini berdampak pada perilaku (akhlak) konsumsi sebagai berikut.

a. Hasil dari pilihan tindakan yang dilakukan terdiri atas dampak langsung di dunia (Man amila amalan shaalihan min dzakarin au unsaa wahuwa mukmin, fa ajruhu ala laahi) dan dampaknya nanti di akhirat. Sehingga kepuasan (Utilitas) yang diturunkan dari pilihan tersebut merupakan total nilai sekarang (present value) dari kedua dampak tersebut.

b. Alternatif penggunaan pendapatan (dari hasil usahanya dengan jalan halal) akan bertambah dengan memasukkannya manfaat yang diperoleh di akhirat kelak (Fain khairan fa khairan wa in syarran fa syarran= apabila didapat dengan cara yang baik pahala di akhirat kelak tapi apabila yang didapat dengan j alan buruk (menipu) maka ganjaran siksaan yang pedih). Sehingga pendapatan yang diperoleh disamping untuk kebutuhan konsumsi yang disisihkan untuk membayar kewaj iban zakat, infak dan sadaqah. Seperti disebutkan dalam ayat suci alquran[25] ;

وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ

Artinya :Dirikanlah salat dan bayarlah zakat hartamu.



Dan juga dinyatakan dalam Surat Nya bahwasanya :[26]

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

Artinya: Ambillah dari harta mereka sedekah (zakat) untuk membersihkan mereka dan menghapuskan kesalahan mereka. "

Juga dinyatakan dalam firman-Nya bahwasanya : [27]


إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ



Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan salat, dan menunauikan zakat, mereka mendapatkan pahala dari sisi Tuhannnya, Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati "

Dalam hadits riwayat Ahmad dan Muslim dinyatakan :



Dari Abi Hurairah, "Rasulullah Saw, telah berkata, "Seseorang yang menyimpan hartanya, tidak dikeluarkan zakatnya, akan dibakar dalam neraka jahanam, baginya dibuatkan setrika dari api, kemudian disetrika ke lambung dan dahinya, dan seterusnya, '(hadits ini panjang)` (Innama shadaqatu lil fukaraai wal masakin, wab nissabil, sesungguhnya zakat itu untuk orang orang fakir dan orang-orang m iskin) .

3. Konsep kekayaan (al-Ghany) dalam Islam merupakan karunia dan pemberian dari Allah. Manusia sifatnya hanya memiliki `hak guna' amanat, atas kekayaan yang dimilikinya. Karena pemilik yang sebenarnya adalah Allah SWT. Implikasi yang ditimbulkan dari pandangan ini adalah dalam penggunaan semua bentuk kekayaan manusia selalu melakukan evaluasi apakah tindakannya sudah benar dengan syariat Islam atau belum. Perlu diingatkan pula bahwa harta (kekayaan) yang dimiliki tersebut adalah sebagai hiasan kehidupan manusia di dunia,seperti dinyatakan dalam frman Allah SWT [28]



زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَاْلأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَئَابِ

Artinya : Dan d~adikan indah bagi manusia mencintai bermacam-macam yang diingini, (diantaranya) kepada perempuan perempuan, anak anak, harta yang berlimpah dari jenis emas, perak, kuda yang bagus, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan pada sisi Allah adalah sebaik-baik tempat kembali.



4. Dalam pandangan Islam mengenai barang terutama barang konsumsi adalah semua barang (al-Maal) yang dikaitkan dengan aspek nilai moral. Jadi barang dalam perspektif adalah semua bentuk materi yang dapat membawa manfaat, menguntungkan dan dapat dikansumsi sedemikian rupa sehingga membawa kesejahteraan bagi konsumsi baik secara material, moral maupun spiritual. Barang yang tidak membawa pada kebaikan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat bukan merupakaan barang clan tidak dapat dianggap sebagai bentuk kekayaan seperti barang haram, barang hasil KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) narkotika. Barang yang kita miliki ini bisa menjadi sumber bencana/fitnah bagi dirinya dan bagi masyarakat pada umumnya sebagai mana pernyataan Allah dalam firmanNya[29] :



Artinya: Hanya sesungguhnya harta-harta kamu dan anak-anak kamu adalah cobaan. Dan di sisi Allah pahala yang besar.



6. Aspek etika (akhlak al karimah) dalam konsumsi menurut Islam, selalu dianjurkan untuk selalu berakhlak mulia sebagai mana terangkum dalam hadits Nabi Saw yang berbunyi :

Innamal ummamu akhlaqu ba bakiat wain humu dzahabat akhlakuhu dahabuu: Sesungguhnya suatu kaum itu akan tetap jaya di kehidupan dunia bila tetap berakhlak yang mulia).



Dalam hal konsumsi Islam ini terangkum dalam beberapa hal yaitu:Menafkahkan harta dalam kebaikan dan menjauhkan sifat kikir, 2. Mengajarkan bersikap sederhana, yang mengandung lima dimensi yaitu keadilan, mencari rezki secara halal, kebersihan, kemurahan hati dan moralitas.







Daftar Kepustakaan



S.L Poerdisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu & Peradaban Dunia, (Jakarta: P3M, 1986.



Zainul Arifiin, Memahami Bank Syariah, Lingkup, Peluang,Tantangan dan Prospek, Alvabet, Jakarta, Desember 1999.



Crombie, Medieval and Early Modern Science, Vol 1 dan 11. Harvard University Press, Cambridge, 1963.



Sharif (ed), A History of Muslim Philosophy, Vol 2, Otto Harrassowitz, Wiesbaden, 1966.



George Makdisi, Madrasa and Universitv in the Middle Age" Studi (Islamica 32. 1970.



Will Durant, The Age of Faith, Simon and Schuster. New York, 1950. Encyclopedia of l.slam, New Edition.



Durant, De Lacy, Arabic Thought and Its Pulce in History, Routledge and Kegan Paul Ltd, London, 1992;



Wolfson A, Studies in the History of Philosophy and Religion, vol I, Isadore Twersky and George William (ed), Harvard University Press, 1973;



Subhi Labib, Capitalism in Medieval Islam, Journal of Economic History, Vo1.29, 1969



Sharif, bicf, Giullaume, The Legacy of lslam, London, 1952



Hammond, The Philosophy of Al Farabi and Its Influence on Medieval Thought, New York, 1974



A1 Izzah Anis Muda, Ahmad, The Development of Figh Schools of Thought, makalah dalam Short Course on Figh for Economics, International Islamic University, Petaling Jaya, 30 Mei-Juni 1994



Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam (terjemahan), Dana Bhakti Wakaf Yogyakarta, 1993
















[1] QS. Al-Rum, 30: 39



[2] Q.S al-Nisa (4) : 161



[3] QS. Ali Imran, 3: 130



[4] Al-Qur’an nul Karim di surat al-Baqarah (2) : 275, 276, 278.



[5] Al-Qur’an nul Karim di surat ;Al-Baqarah ayat 278

[6] Qur'an nul Karim surat An Nisa ayat 12 yang berbunyi ;



[7] Al-Qur’an nul Karim di surat Shaad ayat 24



[8] Al-Qur’an nul Karim di surat Jumuah ayat 10



[9] Al-Qur’an nul Karim di Surat Al-Baqarah ayat 198



[10] Qur'an nul Karim di surat AI Muzammil ayat 20



[11] Al-Qur’an nul Karim di surat al Jumu'ah ayat 10

[12] S.LPoerdisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu & Peradaban Dunia, (Jakarta: P3M, 1986, halaman 70

[13] Zainul Arifiin, Ibid, h 4, Memahami Bank Syariah, Lingkup, Peluang,Tantangan da Prospek,Alvabet, Jakarta, Desember 1999, halaman 3



[14] Zainul Arifin, lbid, h. 4

[15] Zainul Arifin ,lbid, h. 4



[16] Crombie, Medieval and Early Modern Science, Vol 1 dan 11. Harvard University Press, Cambridge, 1963.



[17] Sharif (ed), A History of Muslim Philosophy, Vol 2, Otto Harrassowitz, Wiesbaden, 1966. Lihat juga George Makdisi, Madrasa and Universitv in the Middle Age" Studi (slamica 32. 1970, halaman 345

[18]' Will Durant, The Age of Faith, Simon and Schuster. New York, 1950. Encyclopedia of l.slam, New Edition.

[19] Durant, lbid, De Lacy, Arabic Thought and Its Pulce in History, Routledge and Kegan Paul Ltd, London, 1992; Wolfson A Studies in the History of Philo.sophy and Religion, vol I, Isadore Twersky and George William (ed), Harvard University Press, 1973; Sharif, Ibid, h.67





[20] Subhi Labib, Capitalism in Medieval /slam,Journal of Economic History, Vo1.29, 1969

[21] Subhi Labib, Ibid

[22] Sharif,/bicf, Giullaume, The Legacy oflslam, London, 1952

[23] ` Sharif, lbid, Giullaune, ibid;

[24] Hammond, The Philo.sofiphy of Al Farabi and Its Influence on Medieval Thought, New York, 1974



[25] QS An Nisa ayat 77:



[26] QS. At- Taubah ayat 103;



[27] QS Al Baqarah ayat 277: 19

[28] QS.Ali Imran ayat 14





[29] Surat At-Thaghabuun ayat 15

Liberation/Emancipation, Economic Marginalization, or Less Chivalry

The Relevance of Three Theoretical Arguments to Female Crime Patterns in England and Wales, 1951–1980

STEVEN BOX 1 CHRIS HALE 1
1 University of Kent at Canterburg
Steven Box is a Senior Lecturer in Sociology at the University of Kent at Canterbury. England. He specializes in teaching criminology and the sociology of deviance. His current research program (with C. Hale) is centered around an empirically based critique of the present British Government's "Law and Order" campaign. His recent publications include Power, Crime and Mystification, and Deviance, Reality and Society.

Chris Hale is a Lecturer in Quantitative Social Science and Management Science. He has published papers in econometric theory in various journals, including the Journal of the American Statistical Association and the International Economic Review. His current research interests include misspecification in econometric models and improved estimation techniques.

ABSTRACT
The alleged criminogenic nature of female liberation/emancipation has been tested recently by numerous North American researchers. Not only did the results lead them to different conclusions, but they did not test simultaneously for the effects on female conviction rates of increasing economic marginalization or less chivalrous treatment by the public, police, or courts toward female suspects. Data relating to England and Wales for 1951-1980 are used to test these competing explanations for changes in female criminality. The results give little support to the emancipation/liberation causes female crime hypothesis, but do provide limited support for the marginalization thesis. However, changes in social labelling appear to have a significant impact on female conviction rates, suggesting that previous researches omitting this possibility were seriously deficient. The authors suggest further research on actual women's lives and behavioral responses as a means of testing the effects of liberation/emancipation and marginalization on female criminal behavior.


DIGITAL OBJECT IDENTIFIER (DOI)
10.1111/j.1745-9125.1984.tb00312.x

Selasa, 16 Maret 2010

The Financial Crisis And The Developing World

For the developing world, the rise in food prices as well as the knock-on effects from the financial instability and uncertainty in industrialized nations are having a compounding effect. High fuel costs, soaring commodity prices together with fears of global recession are worrying many developing country analysts.

Summarizing a United Nations Conference on Trade and Development report, the Third World Network notes the impacts the crisis could have around the world, especially on developing countries that are dependent on commodities for import or export:

Uncertainty and instability in international financial, currency and commodity markets, coupled with doubts about the direction of monetary policy in some major developed countries, are contributing to a gloomy outlook for the world economy and could present considerable risks for the developing world, the UN Conference on Trade and Development (UNCTAD) said Thursday.

… Commodity-dependent economies are exposed to considerable external shocks stemming from price booms and busts in international commodity markets.

Market liberalization and privatization in the commodity sector have not resulted in greater stability of international commodity prices. There is widespread dissatisfaction with the outcomes of unregulated financial and commodity markets, which fail to transmit reliable price signals for commodity producers. In recent years, the global economic policy environment seems to have become more favorable to fresh thinking about the need for multilateral actions against the negative impacts of large commodity price fluctuations on development and macroeconomic stability in the world economy.


— Kanaga Raja, Economic Outlook Gloomy, Risks to South, say UNCTAD, Third World Network, September 4, 2008

Global Financial Crisis

The global financial crisis, brewing for a while, really started to show its effects in the middle of 2007 and into 2008. Around the world stock markets have fallen, large financial institutions have collapsed or been bought out, and governments in even the wealthiest nations have had to come up with rescue packages to bail out their financial systems.

On the one hand many people are concerned that those responsible for the financial problems are the ones being bailed out, while on the other hand, a global financial meltdown will affect the livelihoods of almost everyone in an increasingly inter-connected world. The problem could have been avoided, if ideologues supporting the current economics models weren’t so vocal, influential and inconsiderate of others’ viewpoints and concerns.

This article provides an overview of the crisis with links for further, more detailed, coverage at the end..



by Anup ShahThis Page Last Updated Saturday, July 25, 2009
This page: http://www.globalissues.org/article/768/global-financial-crisis.
To print all information e.g. expanded side notes, shows alternative links, use the print version:
http://www.globalissues.org/print/article/768

Ahmadinejad: Kami Punya Dokumen Senjata Nuklir AS



RABU, 23 DESEMBER 2009 18:27 SITE ADMIN
Presiden Republik Islam Iran Mahmoud Ahmadinejad menegaskan bahwa menyamakan bom atom dengan energi nuklir adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Kantor Berita IRNA melaporkan, Mahmoud Ahmadinejad kemarin (Jumat,18/12) di sela-sela KTT (COP) Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, dalam konferensi pers, menyatakan bahwa pemanfaatan energi nuklir merupakan bagian dari upaya mengurangi pencemaran lingkungan.



Ahmadinejad menandaskan, segelintir negara yang bermaksud memonopoli seluruh teknologi, menilai energi nuklir sama dengan bom nuklir. Ditegaskannya, sikap ini merupakan kesalahan besar dan bentuk pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Seraya menjelaskan pemanfaatan energi nuklir damai di bidang medis dan pertanian, Ahmadinejad menuturkan, "Jika kita menyamakan energi nuklir dengan bom nuklir, maka kita telah mencegah umat manusia untuk menikmati manfaat energi ini. Kebijakan segelintir negara untuk memonopoli energi nuklir merupakan sebuah tindakan kotor."

Lebih lanjut, Ahmadinejad mengatakan, Iran mendukung larangan penyebaran senjata nuklir di dunia. Ditambahkannya, Tehran bahkan mengusulkan kepada Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) untuk membentuk sebuah kelompok independen guna melucuti senjata pembunuh massal dan mencegah penyebarluasannya.

Ahmadinejad menilai klaim-klaim Barat terkait masalah nuklir sebagai tindakan menyesatkan dan politis. Ditandaskannya, "Barat tidak punya bukti tentang penyimpangan aktivitas nuklir damai Iran, namun kami punya banyak dokumen yang menunjukkan kepemilikan delapan ribu buah hulu ledak nuklir oleh AS." Seraya menegaskan dukungan AS terhadap rezim Zionis Israel yang memiliki 400 hulu ledak nuklir, Ahmadinejad mengatakan, sikap seperti ini dan kebijakan standar ganda telah gagal.

Menyinggung masalah hak veto di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ahmadinejad menilai hak itu sebagai sebuah kezaliman. Ahmadinejad menuturkan, 60 tahun lalu, beberapa negara yang menilai dirinya sebagai pemenang Perang Dunia II mendeklarasikan diri sebagai pemilik dunia tanpa meminta pendapat pihak lain. Ditambahkannya, sistem seperti ini sangat kejam.

Sumber Berita: http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&task=view&id=17645

TERAKHIR DIPERBAHARUI ( SELASA, 29 DESEMBER 2009 10:16 )

Information Technology Outsourcing

In the United States, corporations plan to outsource many thousands of Information Technology (IT) jobs to outside firms. Most of these jobs will belong to so-called offshore organizations in India or Southeast Asia. The media buzz and corporate momentum around IT offshoring and outsourcing continues and shows no signs of abating.
As a current Information Technology professional in the U.S., or a student considering a future career in IT, outsourcing is a business trend you must fully understand. Don't expect the trend to reverse any time in the forseeable future, but don't feel powerless to cope with the changes either.

Changes Coming with Information Technology Outsourcing

Ten years ago, workers were attracted to the Information Technology field given the
challenging and rewarding work
good pay
numerous opportunities, the promise of future growth and long term job stability
Outsourcing will alter and is already altering each of these IT career fundamentals:
The nature of the work will change dramatically with offshoring; the future may be equally rewarding, or it may prove wholly undesirable depending on one's individual interests and goals.

Information Technology salaries will increase in the countries that receive outsourcing contracts and may decrease in the U.S.

Likewise, the total number of IT jobs will increase in some countries and may decrease in the U.S, much future growth will happen outside the U.S, and job stability will remain unclear everywhere until the outsourcing business models mature.
How to Cope with Information Technology Outsourcing

IT workers in the U.S. are already witnessing some impacts of IT outsourcing, but the future impacts will possibly be even greater. What can you do to prepare? Consider the following ideas.
Don't Panic - The prospect of job searches or career changes can be quite stressful to Information Technology workers. IT students may understandably begin to question their choice of career. However, the more stress and worry a person takes on, paradoxically the more difficult it becomes to successfully reach their career goals.

Don't Wait for The Upturn - So-called experts predicted a sharp upturn in the U.S. economy and increase in IT jobs for several years, that largely did not happen. Expect that IT will operate in the current climate with respect to outsourcing for the foreseeable future.

Become a Generalist - Years ago in Information Technology, specialization was king. Those with the heaviest technical backgrounds and loftiest job titles, like Enterprise Architects, commanded the highest salaries. Nowadays, a person is much better positioned if they are skilled in multiple areas of both technology and the business side of IT. Flexibility is king.

Look to Smaller Organizations - Fortune 500 companies will primarily pursue offshoring ventures but smaller firms less so. Outsourcing creates a substantial amount of overhead before the gains kick in, and small companies can't afford to pay that price for the foreseeable future.

Start Your Own Business - Uncertain economic times, and occasions of industry change, are often the best ones for starting a new business, due to lower prices for capital, less competition, and the natural emergence of big new market opportunities. All it takes is an entrepenurial attitude and a few good ideas.
Above all, whatever your chosen career path, strive to find happiness in your work. Don't fear the ongoing change in Information Technology just because others are afraid. Control your own destiny.

How Outsourcing Affects Your Career in IT
By Bradley Mitchell, About.com Guide

"APA SIH NEOLIBERALISME?"

AKhir-akhir ini gaung “neoliberalisme” telah cukup sering berkumandang sejalan dengan munculnya calon wakil presiden Budiono. Banyak yang berdemo dan menentang, banyak juga yang muncul dan mendukung, banyak juga yang memilih untuk tidak peduli. Dari pihak calon wakil presiden Budiono sendiri jelas menentang keras mengenai dirinya dan paham neoliberalisme tersebut.

Tapi sebenarnya, apa sih neoliberalisme itu? .

Neoliberalisme adalah sebuah set politik ekonomi dimana pemerintah yang memiliki peranan penting dalam mengatur sektor privat perdagangan untuk meningkatkan sektor ekonomi dan membuatnya menjadi lebih efisien. “Neo” bisa diartikan sebagai sebuah jenis liberalisme atau kebebasan baru. “Liberalisme” disini bisa merujuk pada hal politik, ekonomi atau bahkan religi. Dalam hal “neo-liberalisme” disini berarti merujuk pada kebebasan pribadi untuk mengatur perekonomian tanpa campur tangan pemerintah. Sehingga hal ini bisa dikatakan sebagai kebebasan dalam membuat berbagai produk tanpa batasan dan larangan, tanpa ada batasan untuk perdagangan, tanpa ada tarif maupun pajak dan lain sebagainya. Semuanya berpusat pada satu hal, yaitu perdagangan bebas.

Dan pada neo-liberalisme, ini berarti kebebasan berdagang, kebebasan untuk berkompetisi dan kebebasan bagi pihak dari Negara manapun untuk datang dan meraup keuntungan.

Ada 5 inti dari prinsip neoliberalisme, yaitu:
1.Peraturan pemasaran, disini berarti kebebasan dalam industri perdagangan tanpa ada campur tangan pemerintah. Mereka berpendapat bahwa pasar tanpa campur tangan pemerintah adalah hal yang terbaik bagi pertumbuhan ekonomi rakyat.
2.Memotong biaya publik dari pemerintah untuk pelayanan sosial, seperti untuk pendidikan dan kesehatan.
3.Pengurangan peraturan pemerintah, mengurangi semua peraturan pemerintah yang dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah keuntungan dalam industri perdagangan dan ekonomi.
4.Privatisasi, ini berarti hampir semua kepemilikan dari bank, industri, listrik dan bahkan air menjadi milik perusahaan pribadi. Mengakibatkan hanya segelintir orang saja yang menikmati keuntungan dan rakyat harus membayar lebih mahal.
5.Menghilangkan konsep kepemilikan bersama atau demi kepentingan orang banyak, untuk digantikan dengan “kesadaran pribadi”. Sehingga lebih menekankan pada orang banyak untuk mencari solusi sendiri bagi masalah-masalah kesehatan atau pendidikan mereka tanpa campur tangan pemerintah.

Di Amerika, sistem ini dilaksanakan pada masa pemerintahan Ronald Reagen. Namun mengakibatkan banyaknya kesenjangan sosial dan bahkan kehancuran ekonomi. Di Indonesia tampaknya sistem ini hampir tidak mungkin untuk diaplikasikan pada masyarakat Indonesia, karena bila iya maka mungkin BLT (Bantuan Langsung Tunai) akan ditiadakan. Dan bayangkan sedihnya hal itu bagi mereka yang membutuhkan.

Ditulis oleh
Cynantia Rachmijati,S.Ds,Grad.Dip.Journ

Sumber
http://www.corpwatch.org/article.php?id=376
http://www.wikipedia.com

New Technologies in the New Economy

From U.S. Department of State

Perhaps even more importantly, a range of new technologies -- the microprocessor, the laser, fiber-optics, and satellite -- appeared in the late 1990s to be making the American economy significantly more productive than economists had thought possible. "The newest innovations, which we label information technologies, have begun to alter the manner in which we do business and create value, often in ways not readily foreseeable even five years ago," Federal Reserve Chairman Alan Greenspan said in mid-1999.
Previously, lack of timely information about customers' needs and the location of raw materials forced businesses to operate with larger inventories and more workers than they otherwise would need, according to Greenspan. But as the quality of information improved, businesses could operate more efficiently. Information technologies also allowed for quicker delivery times, and they accelerated and streamlined the process of innovation. For instance, design times dropped sharply as computer modeling reduced the need for staff in architectural firms, Greenspan noted, and medical diagnoses became faster, more thorough, and more accurate.

Such technological innovations apparently accounted for an unexpected surge in productivity in the late 1990s. After rising at less than a 1 percent annual rate in the early part of the decade, productivity was growing at about a 3 percent rate toward the end of the 1990s -- well ahead of what economists had expected. Higher productivity meant that businesses could grow faster without igniting inflation. Unexpectedly modest demands from workers for wage increases -- a result, possibly, of the fact that workers felt less secure about keeping their jobs in the rapidly changing economy -- also helped subdue inflationary pressures.

Some economists scoffed at the notion American suddenly had developed a "new economy," one that was able to grow much faster without inflation. While there undeniably was increased global competition, they noted, many American industries remained untouched by it. And while computers clearly were changing the way Americans did business, they also were adding new layers of complexity to business operations.

But as economists increasingly came to agree with Greenspan that the economy was in the midst of a significant "structural shift," the debate increasingly came to focus less on whether the economy was changing and more on how long the surprisingly strong performance could continue. The answer appeared to depend, in part, on the oldest of economic ingredients -- labor. With the economy growing strongly, workers displaced by technology easily found jobs in newly emerging industries. As a result, employment was rising in the late 1990s faster than the overall population. That trend could not continue indefinitely. By mid-1999, the number of "potential workers" aged 16 to 64 -- those who were unemployed but willing to work if they could find jobs -- totaled about 10 million, or about 5.7 percent of the population. That was the lowest percentage since the government began collecting such figures (in 1970). Eventually, economists warned, the United States would face labor shortages, which, in turn, could be expected to drive up wages, trigger inflation, and prompt the Federal Reserve to engineer an economic slowdown.

---

Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank

oleh : Luqman


PENDAHULUAN
Perbankan Syari’ah di Indonesia saat ini telah memasuki periode perkembangan yang ditandai dengan adanya bank-bank syari’ah baru. Hal ini dimungkinkan dengan adanya landasan hukum yang jelas yaitu Undang-Undang No 10 Tahun 1998 yang mengubah Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang perbankan serta aturan pelaksanaannya.[1]
Berdasarkan perundang-undangan yang baru tersebut, sistem perbankan di Indonesia terdiri dari bank umum konvensional dan bank umum syari’ah. Dengan adanya perundang-undangan ini juga memungkinkan berkembangnya bank-bank syari’ah melalui pendirian bank syari’ah baru, perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank syari’ah dan pelaksanaan kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syari’ah oleh bank konvensional.
Dengan demikian, maka diperlukan ketentuan-ketentuan perbankan dan fasilitas bank sentral yang sesuai dengan prinsip syari’ah, karena kegiatan usaha memiliki perbedaan yang mendasar dibandingkan dengan bank konvensional. Hal ini dibutuhkan agar perbankan syariah dapat beroperasi secara sehat serta dapat menjalankan prinsip-prinsip syari’ah secara benar. Untuk memutuskan boleh atau tidaknya transaksi tersebut dioperasikan pada perbankan syari’ah, maka dalam hal ini Dewan Syari’ah sebagai lembaga fatwa dalam setiap transaksi yang diberlakukan di perbankan syari’ah hendaklah harus jeli dengan perkembangan zaman sekarang ini yang begitu modern dan memiliki permasalahan yang kompleks.

PEMBAHASAN
Bank berfungsi sebagai lembaga intermediasi antara pemilik dan pengguna dana dapat berpotensi mengalami kekurangan atau kelebihan likuiditas. Kekurangan likuiditas umumnya disebabkan oleh perbedaan jangka waktu antara penerimaan dan penanaman dana, sedangkan kelebihan likuiditas dapat terjadi karena dana yang terhimpun belum dapat disalurkan kepada pihak yang membutuhkan.
Dalam rangka peningkatan pengelolaan dana bank, yaitu pengelolaan kelebihan dan kekurangan dana, maka perlu diselenggarakan pasar uang antarbank. Bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah dapat mengelola kelebihan dan kekurangan dana secara efisien, maka diperlukan pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syari’ah.
Pasar uang yang ada tidaklah berdasarkan prinsip syari’ah dan masih mengandung riba. Padahal dalam Islam dengan jelas menghalalkan segala bentuk kegiatan bisnis dengan ketentuan tidak terkait dengan riba.[2]
Mengingat dalam rangka meningkatkan efisiensi pengelolaan dana agar bank syari’ah dapat melakukan kegiatan usahanya pada pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syari’ah maka diperlukan suatu instrumen yang dapat digunakan dalam pasar uang antarbank yang sesuai dengan prinsip syari’ah, maka dikeluarkanlah Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No 38/DSN-MUI/X/2002 menetapkan bahwa Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (IMA) merupakan priranti dalam kegiatan pasar uang antarbank dan dibenarkan menurut syari’ah. Sedangkan sertifikat investasi lain yang berdasarkan bunga tidak dibenarkan menurut syari’ah.[3]
Jika dilihat fatwa Dewan Syari’ah Nasional tentang Sertifikat IMA, sebenarnya diterbitkan Sertifikat IMA dalam kegiatan investasi di pasar uang antarbank tidak lepas bahwa Islam memperbolehkan atau membenarkan umatnya melakukan transkasi muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain. Selain itu, tentunya juga terkait erat dengan adanya fatwa Dewan Syari’ah yang sebelumnya tentang bolehnya Mudharabah yakni fatwa No 07/DSN-MUI/IV/2000 dan fatwa No.36/DSN-MUI/X/2002 tentang bolehnya pasar uang antarbank.
Pada prinsipnya semua kegiatan muamalah tersebut haruslah bebas dari riba (bunga). Oleh sebab itu dalam kegiatan bisnis yang bebas dari riba, Islam menawarkan alternatif pilihan dalam melakukan transaksi bisnis yang sama-sama akan mendapatkan keadilan salah satunya bagi hasil.
Lahirnya fatwa tentang sertifikat Investasi Mudharabah antarbank (IMA) merupakan piranti atau instrumen dalam transaksi investasi di pasar uang antarbank yang bertujuan untuk mengeliminir unsur riba. Sertifikat bertujuan sebagai pijakan dalam pembagian keuntungan dan dasar atau bukti dalam penyelesaian masalah jika terjadi wanprestasi, untuk itulah maka Sertifikat IMA diterbitkan. Selain itu juga Sertifikat IMA merupakan salah satu surat berharga, yang dapat dipindahtangankan kepada bank lain.
Adapun yang menjadi landasan dalam penetapan fatwa Sertifikat IMA adalah QS. al-Maidah (5):1, an-Nisa (4): 58, al-Baqarah (2): 279,275,278,280, an-Nisa(4): 29, al-Maidah (5):2. Landasan hadit Nabi banyak sekali tetapi tidak akan kami sebutkan semua, hanya beberapa saja: hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib yang artinya “Ada tiga hal yang mengandung berkah: Jual beli tidak secara tunai, Muqaradhah (Mudharabah), dan mencampur gandum halus dengan gandum kasar untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.”
Kemudian ada hadis lain yang diriwayatkan oleh al-Tarmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf, yang artinya “kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”[4]
Ada juga riwayat al-Bukhari dari Abu Daud bahwa Nabi Bersabda “Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran hutang.”
Dalam fatwa dewan syari’ah tentang investasi mudharabah antarbank, dalil dari ayat al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 282 adalah dasar dalam fatwa tentang Investasi mudharabah antarbank. Dalil ini menjelaskan bahwa dalam investasi, maka seseorang ataupun institusi sebagai investor, dalam hal ini bank menanamkan modalnya kepada pihak lain untuk dikembangkan. Selain itu, diperlukan juga sebuah pencatatan, dalam hal ini sertifikat investasi yang mana dalam hukum muamalah Islam dianjurkan untuk melakukan sebuah pencatatan agar tidak terjadi wanprestasi.
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, juga menyertakan kaidah ushul fiqh yang menjadi landasan pijakan yaitu: “Wa inisytara ahadusyarikaini hishata syarikihi jaza liannahu yastari milka ghairihi” artinya jika salah seorang yang bermitra membeli bagian mitranya dalam kemitraan tersebut, hukumnya boleh, karena ia membeli hak milik orang lain.[5] Kaidah ini dapat dijadikan rujukan dalam hal diperbolehkannya penerbitan Sertifikat IMA, yang mewakili pemilik aset (mal) untuk dapat memperjualbelikan asetnya yang telah ditanamkan dalam perserikatan tersebut. Dengan kata lain kaidah tersebut membolehkan untuk memperjual belikan sertifikat IMA.
Pemindahtanganan Sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua tidak didapat memindahtangankan kepada bank lain sampai dengan berakhirnya jangka waktu. Hal ini Agar bank penerbit Sertifikat IMA dapat melakukan pembayaran kepada bank yang berhak, maka pemegang Sertifikat IMA yang terakhir berkewajiban memberitahukan kepemilikan sertifikat tersebut kepada bank penerbit. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh “Tasharruful imam ‘alar ra’yi manuth bil mashlahah” yang artinya tindakan pemegang otoritas harus megikuti mashlahah yang berlaku. Dan kaidah ushul fiqh “dar ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih’ yang artinya pencegahan dari kerusakan (mafsadah) harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. Oleh karena itu Bank Indonesia sebagai otoritas moneter memiliki kewenangan untuk membatasi jual beli sertifikat IMA hanya satu kali pasar sekunder. Pembatasan tersebut dilakukan untuk mencegah kesan terjadinya jual beli dana yang menjurus kepada kegiatan spekulatif.
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, Sertifikat IMA ini digunakan sebagai sarana investasi bagi bank-bank yang kelebihan dana untuk mendapatkan keuntungan dan di lain pihak untuk mendapatkan dana jangka pendek bagi bank syari’ah yang mengalami kekurangan dana.
Penerbitan sertifikat IMA sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Mencantumkan:
a. kata-kata “Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank”;
b. Tempat dan tanggal penerbitan Sertifikat IMA;
c. Nomor seri sertifikat IMA;
d. Nilai nominal investasi;
e. Nisbah bagi hasil;
f. Jangka waktu investasi;
g. Tingkat indikasi imbalan;
h. Tanggal pembayaran nominal dan imbalan;
i. Tempat pembayaran;
j. Nama bank penanam dana;
k. Nama bank penerbit dan tanda tangan pejabat yang berwewenang.
2. Berjangka waktu paling lama 90 hari.
3. Diterbitkan oleh kantor pusat Bank Syari’ah atau UUS.[6]
Peserta Pasar Uang berdasarkan prinsi Syari’ah (PUAS) adalah bank-bank yang menerbitkan sertifikat IMA dan bank-bank yang menanamkan dana pada sertifikat IMA.
Adapun Bank penerbit sertifikat IMA adalah:
1. Kantor Pusat Bank Syari’ah, yaitu bank yang selurtuh kegiatan usahanya berdasarkan prinsip Syari’ah.
2. Unit usaha Syari’ah (UUS) yaitu, kantor pusat dari kantor-kantor cabang syari’ah dari bank umum yang kantor pusatnya melakukan usaha secara konvensional.
Bank penanam Dana pada sertifikat IMA adalah:
1. Kantor pusat Bank Syari’ah, yaitu bank yang seluruh kegiatannya berdasarkan prinsip syari’ah.
2. Unit Usaha Syari’ah (UUS), yaitu kantor pusat dari kantor-kantor cabang syari’ah dari bank umum yang kantor pusatnya melakukan usaha secara konvensional.
3. Kantor Pusat Bank Umum yang melakukan usaha konvensional.
Adapun mekanisme dan penyelesaian transaksi adalah: Sertifikat IMA diteritkan rangkap tiga, yang mana lembar kerja asli diserahkan kepada pihak bank penanam dana Sertifikat IMA, lembar kedua digunakan oleh bank penanam dana sebagai lampiran pada nota kredit, bilyet giro Bank Indonesia atau transfer dana secara elektronik. Sedangkan lembar ketiga digunakan sebagai arsip bank penerbit.
Bank penanam dana pada sertifikat IMA melakukan pembayaran kepada bank penerbit dengan menggunakan nota kredit melalui kliring, bilyet giro bank Indonesia atau transfer dana secara elektronis, disertai tembusan Sertifikat IMA.
Pada saat Sertifikat IMA jatuh tempo, Penyelesaian transaksi dilakukan oleh bank penerbit dengan melakukan pembayaran kepada bank pemegang sertifikat terakhir sebesar nilai nominal investasi (face value), sedangkan imbalan dibayar pada awal berikutnya. Pembayaran tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan nota kredit melalui kliring, bilyet giro bank Indonesia atau transfer dana secara elektronis.
Besarnya imbalan yang dibayarkan pada awal bulan dihitung atas dasar tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudharabah pada bank penerbit sebelum didistribusikan sesuai jangka waktu penanaman. Penentuan imbalan dimaksud sesuai dengan jangka waktu deposito investasi mudharabah. [7]
Bank penerbit Sertifikat IMA wajib melapor kepada Bank Indonesia pada hari penerbitan Sertifikat IMA mengenai Nilai nominal investasi, nisbah bagi hasil, jangka waktu dan tingkat indikasi imbalan sertifikat IMA.
Jika terjadi perselisihan antara bank penerbit Sertifikat IMA dan bank penanam dana yang melakukan transaksi pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah, maka dapat diselesaikan melalui badan arbitrase berdasarkan prinsip syari’ah yang berkedudukan di Indonesia.

KESIMPULAN
Ada empat aksioma dalam ilmu ikonomi Islam, yaiut Tauhid (kesatuan), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium), Kehendak Bebas (Free Will), dan Tanggung Jawab (Responsibility).[8]
Tauhid mengantarkan manusia pada pengakuan akan keesaan Allah selaku Tuhan semesta alam. Dalam kandungannya meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini bersumber dan berakhir kepada-Nya. Dialah pemilik mutlak dan absolut atas semua yang diciptakannya. Oleh sebab itu segala aktifitas khususnya dalam muamalah dan bisnis manusia hendaklah mengikuti aturan-aturan yang ada jangan sampai menyalahi batasan-batasan yang telah diberikan.
Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium) merupakan konsep yang menunjukkan adanya keadilan sosial. Kehendak bebas (Free Will) yakni manusia mempunyai suatu potensi dalam menentukan pilihan-pilihan yang beragam, karena kebebasan manusia tidak dibatasi. Tetapi dalam kehendak bebas yang diberikan Allah kepada manusia haruslah sejalan dengan prinsip dasar diciptakannya manusia yaitu sebagai khalifah di bumi. Sehingga kehendak bebas itu harus sejalan dengan kemaslahatan kepentingan individu telebih lagi pada kepentingan umat.
Tanggung Jawab (Responsibility) terkait erat dengan tanggung jawab manusia atas segala aktifitas yang dilakukan kepada Tuhan dan juga tanggung jawab kepada manusia sebagai masyarakat. Karena manusia hidup tidak sendiri dia tidak lepas dari hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri sebagai komunitas sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya diakhirat, tapi tanggung jawab kepada manusia didapat didunia berupa hukum-hukum formal maupun hukum non formal seperti sangsi moral dan lain sebagainya.
Dari paparan diatas tentang aksioma ilmu ekonomi Islam ada beberapa hal yang harus dicermati yaitu, manusia sebagai ciptaan Tuhan diberi kebebasan untuk melakukan aktifitas khususnya dalam hal bermuamalah dan berbisnis, tetapi yang perlu diingat bahwa kebebasan yang ada tetap diikat dengan tanggung jawab dan penuh rasa keadilan serta harus mengikuti koridor yang telah diatur dalam syari’at agama. Seperti dilarangnya melakukan penipuan, berbisnis riba dan lain-lain.
Untuk menghindari bisnis atau transaksi yang ribawi atau yang dilarang agama maka diperlukan suatu pegangan dalam setiap transaksi, dalam hal ini Dewan Syari’ah Nasional berperan sebagai pemberi fatwa boleh tidaknya produk yang dikeluarkan oleh institusi atau bank.
Hal ini disebabkan pada zaman sekarang ini kegiatan bisnis baik yang dijalankan secara individu ataupun badan hukum tidak bisa lepas dari adanya suatu jaringan kerja (network) antar pelaku bisnis. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Tentang diperbolehkannya Sertifikat Investasi Mudharabah AntarBank merupakan suatu langkah yang cukup responsif dalam menyikapi perkembangan zaman khususnya dalam perkembangan dunia perbankan. Dengan adanya fatwa tersebut dapat menudahkan bagi bank-bank syari’ah dapat menjalankan fungsinya sebagai pengelola dan penyalur dana.
Lahirnya fatwa tentang sertifikat Investasi Mudharabah antarbank (IMA) tidak bisa lepas dari fatwa yang telah keluar terlebih dahulu yaitu fatwa No 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang bolehnya Mudharabah dan fatwa No.36/DSN-MUI/X/2002 tentang bolehnya pasar uang antarbank. Jadi sertifikat Investasi Mudharabah antarbank (IMA) merupakan piranti atau instrument dalam transaksi investasi di pasar uang antarbank.



DAFTAR PUSTAKA

Terjemah Al-Qur’an al-Karim, Departemen Agama RI

Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema Insani, 2001

As-Suyuthi, al-Asybah Wan Nadhair, tt.

Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Edisi kedua, deterbitkan atas kerjasama Dewan Syarian Nasional, Majelis Ulama Indonesia, Bank Indonesia

Ilmi SM, Malkalul, Teori& Praktek Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: UII Press, 2002

Muhammad, Manajemen Bank syari’ah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002.

Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: EKONISIA, 2003

Naqvi, Syed Nawab Haider, Islam, Economics And Society, London and New York: Kegan Paul International, 1994.



Luqman/Penulis adalah Mahasiswa Magister Studi Islam Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

[1] Muhammad, Manajemen Bank syari’ah, ( Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002), hal. 319.
[2] QS. Al-Maidah (5): 1.
[3] Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Edisi kedua, deterbitkan atas kerjasama Dewan Syarian Nasional, Majelis Ulama Indonesia, Bank Indonesia, hal 251.

[4] Ibid, hal 248-250.
[5] Muhammad, Manajemen, hal 336. lihat juga As-Suyuthi, al-Asybah Wan Nadhair, hal 60.
[6] Muhammad, Manajemen Bank syari’ah, hal 337.
[7] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, (Yogyakarta : EKONISIA, 2003), hal 38.
[8] Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics And Society, (London and New York, Kegan Paul International, 1994), hal 44-45.

MSI-UII.Net - 7/9/2005

Why Study Economics - It's Fun!

Because I enjoy the topic. That's an absolute must to study economics. I wouldn't suggest anyone study economics if they do not enjoy at least some of the topics involved. Like anything in life, you get out of studying economics what you put in. Don't study economics because you think it's the route to a high paying job - you'll likely hate the program so much that you drop out (or fail) and if you do end up graduating, you might find you don't like the jobs your degree has made you qualified for.
That being said, I don't think it's a requirement that you love every aspect of the discipline. I quite enjoy microeconomics, industrial organization, and game theory. Econometrics? Not so much. As an undergraduate there were enough topics I liked that it helped me get through the ones I found difficult or did not really care for.

Terrific Job Opportunities for Economics Graduates

Because there are many opportunities for economics graduates. You are not guaranteed a good-paying job with an economics degree, but your chances are higher than in other programs. One of my interests as an undergraduate was philosophy, but I decided not to major in that because it seemed that the only possibility after completing my degree was law school - which did not appeal to me. With an economics degree you can work in a variety of different fields from finance and banking, public policy, sales and marketing, civil service (government departments, the Federal Reserve, etc.), insurance and actuarial work, etc. You can also go on to do further studies in economics, political science, business, or a variety of other fields. If you're certain your interest is in the business world, a business degree may be a better fit, but an economics degree does open a lot of doors.
Economics Knowledge Is Useful At a Personal Level

Because you learn a lot of skills and knowledge that you can apply to other jobs or to your personal life. Learning about interest rates, exchange rates, economic indicators and equity markets can help you make better decisions about investing and obtaining mortgages. The statistical skills I gained I've used again and again, mostly in business settings. I also learned a fair bit about Microsoft Excel in my first two years in economics, which has aided me greatly.
Economists Understand Unintended Consequences

Because economics teaches students how to understand and spot secondary effects and possible unintended consequences. This may seem relatively unimportant, but it's the most useful thing I've received from my economics training. Most economics problems have secondary effects - the deadweight loss from taxation is one such secondary effect. A government creates a tax to pay for some needed social program, but the secondary effect of that tax is that it changes people's behavior, causing economic growth to slow. By learning more about economics and working on hundreds of economics problems, you learn the skill of being able to spot secondary effects and unintended consequences in other areas. This can help you make better decisions about your personal life and make you more valuable to business; "what are the possible secondary effects from the proposed marketing campaign?" It likely won't help you get a job, but being able to spot and understand the importance of secondary effects, it may help you keep a job or earn a promotion that much faster.
Economics Provides an Understanding of How The World Works

Because you will learn more about how the world works. You will learn more about the impact decisions have on the firm, industry, and national level. You will learn more about the impact of international trade, both good and bad. You will discover the effect government policies have on the economy and on employment; again both good and bad. It will help you make more informed decisions as both a consumer and as a voter. Furthermore, I personally believe that having a more economically literate set of bureaucrats, politicians, and journalists would be great for society - so long as they always keep an open mind about what they've been exposed to. Economics, when done properly, shouldn't so much tell people what to think, rather it should give them tools about how to think of things more clearly and realizing the assumptions they may be making.

economics.about.com