Senin, 19 April 2010

Skenario perusahaan royal dutch shell (memenuhi/menguasai pasokan energy dunia)

Meneropong Konsumsi Energi Dunia
Permasalahan energi bagi kelangsungan hidup manusia merupakan masalah besar yang dihadapi oleh hampir seluruh negara di dunia ini. Tidak lagi ditemukannya cadangan dalam jumlah yang besar pada rentang waktu terakhir ini membuat hampir seluruh dunia menjadikan permasalahan energi menjadi problem besar yang perlu ditangani secara serius. Dalam laporan rutin 2 tahunan yang dikeluarkan oleh International Energy Agency (IEA) pada tahun 2004, diperkirakan peningkatan konsumsi energi ini akan terus terjadi dengan kenaikan rata-rata hingga 1.6 % setiap tahunnya. Sementara itu sebuah laporan yang diterbitkan oleh perusahaan minyak BP pada tahun 2005 tentang konsumsi energi di seluruh dunia disebutkan bahwa peningkatan konsumsi energi antara tahun 2003 dan 2004 saja mencapai 4.3%.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh BP yang disebut sebagai Review of World Energy 2005 itu, disebutkan bahwa total konsumsi energi di seluruh dunia hingga akhir tahun 2004 telah mencapai setara 10.244,4 juta ton minyak. Jumlah yang sangat fantastis ini setara dengan sekitar 1/15 dari total cadangan minyak yang ada di seluruh dunia yang berhasil ditemukan hingga tahun 2004 yang mencapai sekitar 162 milyar ton. Jumlah energi di seluruh dunia itu sendiri masih didominasi oleh sumber-sumber energi fosil utama yaitu minyak bumi, gas alam dan batu bara. Ketiga sumber energy yang paling dicari ini menyumbang hingga 87,7% dari total konsumsi energi dunia.
Sumber energi tradisional yang berasal dari minyak bumi masih memberikan kontribusi terbesar untuk memenuhi kebutuhan energi dunia yaitu mencapai 36,7% dari total konsumi energi, atau setara dengan 3.767,1 juta ton minyak. Batu bara dan gas alam masing-masing menjadi penyumbang bagi kebutuhan energi dunia terbesar kedua dan ketiga sebesar 27.2 % untuk batu bara dan 23.7% untuk gas alam. Total konsumi batu bara selama tahun 2004 tersebut mencapai setara 2.778,2 juta ton minyak, sedangkan gas alam mencapai setara 2.420,4 juta ton minyak. Sisa konsumsi energi untuk kebutuhan dunia dipenuhi oleh sumber energi nuklir yang ‘hanya’ sebesar 6,1 % dan dari hydro energi (air) sebesar 6,2%.
Dari seluruh energi yang dikonsumsi tersebut, sebagiannya digunakan untuk membangkitkan listrik dengan total di seluruh dunia mencapai 17.452 Terrawatt-hour (TwH). Sebaran distribusi sumber energi di atas jelas menunjukkan bahwa sumber energi yang berasal dari fosil masih cukup dominan untuk memenuhi kebutuhan energi dunia. Sumber energi yang sifatnya dapat diperbaharui (renewable) masih didominasi oleh sumber dari air (hydro) energi. Laporan tersebut tidak memuat secara khusus berapa besar energy yang bisa dihasilkan oleh sumber energy terbaharukan non hydro karena masih terlalu kecilnya besar energi yang mampu dihasilkan, disamping sumber energi terbaharukan non hydro sebagian besarnya belum masuk ke pasar komersial sehingga tidak terdata secara tepat. IEA memprediksikan besar energy renewable non hydro hanya sebesar 2,5% dari total konsumsi energi yang ada.
Konsumsi energi di seluruh dunia masih didominasi oleh negara industri besar seperti Amerika, Cina, Rusia dan Jepang. Amerika Serikat merupakan konsumen terbesar energi dunia yang mencapai setara 2.331,6 juta ton minyak atau memakan lebih dari 22,8% dari seluruh konsumsi energi dunia. Cina yang merupakan negara dengan pertumbuhan industrinya sangat pesat dan memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia menjadi konsumen energi kedua terbesar dengan konsumsi sebesar setara 1.386,2 juta ton minyak atau sekitar 13,6% dari total energi dunia. Negara berikutnya yang mengkonsumsi energi terbesar berturut-turut adalah Federasi Rusia, Jepang dan India dengan masing masing mengkonsumsi 6,5%, 5% dan 3,7% dari seluruh konsumsi energi dunia. Selanjutnya negara yang masuk ke dalam 10 besar konsumen energi terbesar di dunia setelah negara-negara di atas berturut-turut adalah Jerman (3,2%), Canada (3%), Prancis (2,6%), Inggris (2,2%) dan Korea Selatan (2,1%).
Data tersebut jelas menunjukkan bahwa negara industri maju yang tergabung dalam kelompok G-8 masih mendominasi konsumsi energi. Hanya Cina, India dan Korea Selatan yang merupakan negara di luar kelompok G-8 tersebut. Yang juga patut dicermati adalah pertumbuhan yang cukup tinggi dari Cina dan India yaitu sebesar 15,1% (merupakan pertumbuhan konsumsi energi terbesar di seluruh dunia) dan 7,2%. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dari kedua negara tersebut membuat konsumsi energinya diperkirakan masih akan terus begerak naik.
Sebaran konsumsi energi dunia juga masih terlihat timpang antara satu negara dengan negara lainnya. Konsumsi energi di Amerika misalnya yang berjumlah 22,8% masih lebih besar dibandingkan total seluruh negara di Afrika ditambah dengan negara-negara timur tengah dan negara di Amerika selatan yang seluruhnya hanya berjumlah 12,5%. Ketimpangan ini semakin terasa ketika kita melihat bahwa sebenarnya produksi minyak, yang merupakan komponen terbesar energi di dunia, justru berasal dari negara-negara di Afrika, timur tengah dan Amerika selatan yang mencapai 50,9% dari produksi minyak diseluruh dunia (bandingkan dengan Amerika Serikat yang total produksinya minyaknya hanya 8,5% dari total produksi minyak dunia). Gambaran ini jelas menjadi tantangan bagi negara-negara berkembang, tentunya termasuk Indonesia, untuk memacu kemajuan industrinya agar kekayaan alamnya tidak hanya dinikmati oleh negara-negara yang sudah maju.

Sepuluh negara konsumen energi terbesar yang masih didominasi oleh negara-negara industri maju yang tergabung dalam G8, seperti juga kecenderungan yang terjadi di dunia, hampir semuanya menjadikan minyak, batubara dan gas alam sebagai penopang utama kebutuhan energinya, meskipun dengan komposisi yang berbeda-beda. Dari sepuluh negara konsumen energi terbesar tersebut, yang jumlah kesemuanya memakan 64,76% dari total energi dunia, sebagian besarnya tetap menjadikan minyak sebagai pasokan utama energinya.
Kelima negara yang menjadikan minyak sebagai sumber utama pemenuhan energinya yaitu Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Canada dan Korea Selatan. Federasi Rusia dan Inggris menjadikan gas alam sebagai pemasok terbesar kebutuhan energi dalam negerinya, sementara Cina dan India menggunakan batu bara sebagia penopang utama pemenuhan kebutuhan energinya.
Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat, berada pada posisi ke 20 pada tingkat konsumsi energi dunia dengan total konsumsi sebesar 1,1% dari total energi dunia. Perbandingan sumber-sumber energi dari sepuluh konsumen energi terbesar dunia tersebut bisa dilihat pada Tabel 1 dengan tambahan data konsumsi energi Indonesia.

Amerika Serikat bersama dengan Jepang dan Korea Selatan tergolong negara-negara yang masih sangat tergantung pada minyak mengingat konsumsi yang sangat tinggi yaitu lebih dari 40% kebutuhan energinya dipasok oleh minyak. Sebenarnya Amerika Serikat di lain sisi sudah mengembangkan berbagai sumber energi lainnya baik dari gas alam dan batu bara maupun energi nuklir. Bahkan konsumsi nuklir Amerika Serikat merupakan konsumsi nuklir yang terbesar di dunia pada tahun 2004 yaitu setara dengan 187,9 juta ton minyak. Meskipun begitu, besarnya kebutuhan energi karena industri, dan jumlah penduduk yang besar membuat Amerika Serikat masih menggunakan minyak sebagai sumber utama kebutuhan energinya.
Jika kita mencermati pertumbuhan energi-energi non fosil dari Amerika, tampak Amerika Serikat masih tetap akan mengandalkan sumber sumber energi dari fosil sebagai pemasok utama kebutuhan energinya. Hal ini misalnya bisa dilihat dari tidak terlalu tingginya tingkat pertumbuhan energi non fosil tahun 2004 seperti nuklir yang hanya tumbuh 3,2%, jauh lebih lambat dibandingkan dengan Jepang yang tumbuh 24,3%, Canada sebesar 21,3% atau Cina 14,1%.
Sumber energi yang berasal dari renewable energi juga relatif lambat berkembang, salah satu contohnya adalah hidro energi seperti terlihat pada Tabel 1 di mana jumlah energi dari sumber hidro masih berada dibawah Cina atau Kanada. Contoh lain pertumbuhan yang lambat juga terjadi pada sumber energi dari sel surya (photovoltaic).
Pada tahun 1992 Amerika Serikat merupakan negara terbesar dalam penggunaan sel surya yang mencapai 43,5 MW, jauh melebihi Jepang yang memiliki sel surya terpasang sebesar 19 MW atau Jerman yang hanya 5,6 MW. Dalam perkembangannya, seperti dilaporkan dalam laporan tahunan IEA Photovoltaic Power Systems (IEA-PVPS) Programme yang dikeluarkan September 2005; di tahun 2004 Amerika Serikat “hanya” mampu membangun sel surya terpasang sebesar 365,2 MW jauh di bawah Jerman yang memasang sel surya sebesar 794 MW atau Jepang yang telah mencapai 1132 MW.
Kuatnya pengaruh Amerika Serikat pada negara-negara produsen minyak dan gas bumi membuat kebijakan energi dari negara adidaya ini agaknya masih akan menjadikan minyak dan sumber energi fosil lainnya sebagai pemasok utama kebutuhan energinya dalam beberapa waktu ke depan. Banyaknya perusahaan minyak raksasa dari Amerika yang menguasai ladang-ladang minyak di negara-negara sumber minyak juga membuat stabilitas pasokan minyak Amerika relatif akan stabil.
Cina yang memiliki pertumbuhan indutsri sangat tinggi, jika dilihat dari komposisi sumber energinya secara baik bisa mengurangi ketergantungannya pada minyak. Meskipun konsumsi minyak yang dilakukan Cina tergolong besar yaitu sebesar setara dengan 308,6 juta ton minyak sepanjang tahun 2004, jumlah ini “baru” mencapai 187% dari produksi minyaknya. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang mengkonumsi minyak mencapai 284% dari total produksi minyaknya.
Cina dengan pertumbuhan industri baru yang sangat pesat mampu mengembangkan batu bara sebagai sumber energi alternatif agar ketergantungan pada minyak tidak terlalu besar. Disamping itu dengan harga batubara yang lebih murah mampu membuat industri Cina dapat bersaing. Meskipun cadangan batu bara Cina tidak sebesar Amerika Serikat (cadangan Amerika mencapai 27,1% dari seluruh cadangan batu bara di dunia sedangkan Cina memiliki 12,6%), murahnya harga energi batu bara membuat Cina begitu gencar mengintensifkan penggunaan batu bara untuk kebutuhan energinya.
Cina menjadikan batu bara sebagai sumber utama energinya yang mencapai setara 956,9 juta ton minyak. Jumlah konsumsi batu bara yang terbesar di dunia tersebut mampu memasok lebih dari 69% kebutuhan energi dalam negeri Cina. Tidak heran untuk memenuhi kebutuhan batu bara yang begitu besar, produksi batu bara Cina menjadi sangat luar biasa melebihi konsumsi dalam negerinya yaitu mencapai setara 989,8 juta ton minyak. Produksi ini juga merupakan yang terbesar di dunia yang merupakan 36,2% dari total produksi batubara di seluruh dunia.
Pendekatan yang menarik dari kebijakan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya juga bisa dilihat pada kasus Rusia atau Prancis. Rusia yang memiliki cadangan gas alam terbesar di dunia (Rusia menguasai 26,7% cadangan gas alam di dunia) menjadikan gas alam sebagai sumber utama pemenuhan energi dalam negerinya yang mencapai setara 361,8 juta ton minyak atau 54,1% dari total energi yang dikonsumsi oleh Rusia. Produksi gas alam yang melimpah yang dilakukan oleh Rusia yang mencapai setara 530,2 juta ton minyak (setara dengan 21,9% dari total produksi gas alam di seluruh dunia yang merupakan produksi gas alam terbesar di dunia), membuat Rusia cukup stabil dalam pemenuhan kebutuhan energinya.
Prancis memiliki caranya sendiri dalam memenuhi kebutuhan energinya. Berbeda dengan Amerika, Cina atau Rusia yang cukup memiliki kekuatan menguasai sumber sumber energi fosil seperti minyak, batu bara ataupun gas alam, Prancis memiliki keterbatasan terhadap sumber sumber energi fosil tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan energinya yang besar, selain membuat besar perusahaan-perusahaan minyaknya untuk menjamin suplai minyak dalam negerinya, Prancis secara serius menggarap sumber energi nuklirnya hingga mampu memproduksi setara 101,4 juta ton minyak (jumlah ini merupakan 16,2% dari total energi nuklir di dunia yang merupakan kedua terbesar setelah Amerika). Di Perancis nuklir menjadi sumber energi utama dibandingkan dengan minyak, gas ataupun batubara.
Cara yang sama ditempuh oleh Kanada dengan memperbesar konsumsi gas alam dan sumber energi airnya sehingga jumlah keduanya mencapai 51%, jauh diatas konsumsi minyaknya yaitu 32,4% (Kanada merupakan negara yang memproduksi energi hydro terbesar di dunia yang mencapai 12% dari seluruh energi hydro di seluruh dunia).
Jika kita perhatikan kebijakan energi pada negara-negara konsumen energi terbesar tersebut, terlihat bahwa setiap negara akan mengoptimalkan sumber energi yang mungkin untuk diproduksinya sendiri seperti yang dengan jelas terlihat pada kasus Cina, Rusia, dan Perancis.
Industri energi yang besar dari negara-negara tersebut dan kedekatan dengan negara-negara produsen energi, seperti halnya industri industri minyak dunia yang dimiliki negara-negara konsumen terbesar energi, juga perlu dikelola dengan baik untuk menjamin ketersediaan pasokannya, seperti yang dilakukan oleh Amerika melalui pendekatan politik dan militer pada negara-negara timur tengah. Selain itu membuat perbandingan yang relatif berimbang terhadap sumber sumber energi yang ada membuat ketergantungan sebuah negara terhadap satu sumber energi bisa berkurang.
Pada kasus di Indonesia, sebenarnya produksi yang ada dari tiap-tiap sumber utama energi yaitu minyak, gas alam, dan batubara, telah melebihi dari konsumsi dalam negerinya. Produksi minyak Indonesia yang sebenarnya melebihi konsumsi dalam negeri (produksi sepanjang 2004 berjumlah 55,1 juta ton lebih tinggi dibandingkan konsumsi yang 54,7 juta ton) terpaksa sebagiannya harus lari ke pihak perusahaan pengelola yang nota bene dimiliki oleh perusahaan asing (kontraktor Bagi Hasil/ KBH).
Data yang sedikit berbeda yang dikeluarkan oleh kementerian ESDM dalam Blue Print Pengelolaan Energi Nasional menunjukkan bahwa dengan kondisi produksi minyak saat ini dan perjanjian bagi hasil yang sedang berlaku, Indonesia harus mengimpor minyak mentah sebesar 487 ribu barel per hari dan produk minyak sebesar 212 ribu barel per hari, melebihi besar ekspor minyak mentahnya sebesar 514 ribu barel perhari.
Kondisi besarnya impor minyak inilah yang membuat kenaikan harga minyak mentah dunia yang sempat menyentuh level 70 US$ per barel menjadi sangat memberatkan APBN di tahun 2005 lalu. Melihat ketergantungan yang sangat tinggi dari minyak, sudah saatnya Indonesia mengikuti pola kebijakan energi seperti yang dilakukan oleh Cina, Rusia ataupun Perancis di mana sumber utama energi didapat dari sumber yang pasokannya stabil baik ketersediaan di dalam negeri maupun harganya.
Optimalisasi penggunaan batubara dan gas alam dalam waktu yang tidak terlalu lama sebagai bagian dari kebijakan mix energi sesungguhnya segera bisa direalisasikan untuk membuat ketahanan energi di Indonesia bisa lebih stabil. Untuk jangka panjang, memfokuskan sumber energi non-fosil untuk dikembangkan secara besar-besaran agaknya perlu dimulai sejak saat ini sebagaimana Jepang yang sangat serius mengembangkan nuklir dan sel suryanya, atau Kanada yang mengembangkan energi hidro secara besar-besaran.

Sejarah perencanaan scenario

Konsep perencanaan skenario pertama muncul setelah Perang Dunia II, sebagai metode untuk perencanaan militer. US Air Force mencoba membayangkan apa yang akan dilakukan lawan-lawannya, dan untuk mempersiapkan strategi alternatif. Tahun 1960-an, Herman Kahn, yang telah menjadi bagian dari upaya Angkatan Udara, disempurnakan skenario sebagai alat untuk ramalan bisnis. Ia menjadi salah satu futuris top Amerika. Lalu skenario mencapai dimensi baru di awal 1970-an, dengan karya Pierre Wack, seorang perencana di kantor London Royal Belanda / Shell di departemen yang baru dibentuk bernama Kelompok Perencanaan. Pierre Wack dan perencana lainnya mencari peristiwa yang mungkin mempengaruhi harga minyak.Dan mereka menemukan beberapa peristiwa penting yang telah mengudara. Salah satunya adalah, bahwa Amerika Serikat mulai manjadi pusat pembuangan cadangan minyak. Pada saat yang sama permintaan minyak Amerika itu terus meningkat. Dan muncul Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) telah menunjukkan tanda-tanda melemaskan otot politiknya. Sebagian besar negara-negara ini adalah Islam, dan mereka membenci Barat getir mendukung Israel setelah tahun 1967 enam hari perang Arab-Israel. Melihat situasi ini, tim perencanaan menyadari bahwa orang Arab bisa menuntut harga lebih tinggi untuk minyak mereka. Rasanya mungkin terjadi sebelum tahun 1975 ketika harga minyak tua perjanjian itu dijadwalkan akan dinegosiasi ulang. Jadi Pierre Wack dan timnya menulis dua skenario - setiap satu set lengkap cerita tentang masa depan, dengan meja yang diproyeksikan angka harga.

Cerita pertama disajikan pendapat yang biasa di Shell: bahwa harga minyak akan tetap stabil entah bagaimana. Tetapi agar hal itu terjadi, keajaiban akan terjadi. Ladang minyak baru, misalnya, mungkin harus muncul di negara-negara non-Arab. Skenario kedua menatap masa depan yang lebih masuk akal - krisis harga minyak yang dipicu oleh OPEC. Tapi setelah mereka telah menyajikan skenario ini Shell manajemen, tidak ada perubahan perilaku terjadi.Para manajer memahami implikasi, tapi tidak ada perubahan dalam perilaku. Jadi Pierre Wack pergi satu langkah lebih jauh dan dijelaskan untuk skenario penuh kemungkinan konsekuensi guncangan harga minyak dan ia mencoba untuk membuat orang merasa mereka guncangan melalui skenario. Dia memperingatkan manajemen, bahwa industri minyak mungkin menjadi industri pertumbuhan yang rendah, bahwa negara-negara OPEC akan mengambil alih ladang minyak Shell. Mereka menggambarkan kekuatan di dunia, dan apa pengaruh kekuatan-kekuatan tersebut harus dimiliki. Hal ini terjadi ketika perencanaan skenario untuk bisnis lahir. Shell membantu para manajer untuk membayangkan keputusan mereka, yang mungkin harus menjadikannya sebagai kebijakan. Dan itu tepat pada waktunya. Pada Oktober 1973, setelah perang Yom Kippur di Timur Tengah, ada kejutan harga minyak dan perusahaan-perusahaan minyak utama, hanya Shell yang sudah siap untuk perubahan. Manajemen perusahaan menanggapi dengan cepat dan tahun-tahun berikutnya, Shell pindah dari salah satu lebih lemah dari tujuh perusahaan minyak besar yang ada pada waktu itu untuk yang kedua dalam ukuran dan nomor satu dalam profitabilitas.

Jadi untuk beroperasi di dunia yang tidak menentu, para manajer harus mampu mempertanyakan asumsi mereka tentang cara dunia bekerja, sehingga mereka bisa melihat dunia lebih jelas. Tujuan dari perencanaan skenario karena itu, untuk membantu para manajer untuk mengubah pandangan mereka tentang realitas, untuk mencocokkan itu lebih dekat dengan kenyataan sebagaimana adanya, dan kenyataan seperti itu akan menjadi. Hasil akhirnya, bagaimanapun, bukanlah gambaran yang akurat tentang besok, tapi keputusan yang lebih baik tentang masa depan.



Kunci Topic: Moving Beyond Tetapkan Anggaran Tahunan

"Tetap anggaran tidak bekerja hari ini. Anggaran adalah alat yang terlalu statis dan manajer kunci ke masa lalu - menjadi sesuatu yang mereka pikir tahun lalu itu benar. Agar dapat efektif dalam ekonomi global bergeser dengan cepat kondisi pasar dan pesaing cepat dan gesit, organisasi harus mampu beradaptasi terus-menerus dan prioritas mereka harus meletakkan sumber daya mereka di mana mereka dapat menciptakan nilai bagi pelanggan paling dan pemegang saham. Untuk melakukan itu, mereka membutuhkan konsep-konsep yang tepat, proses manajemen dan alat - konsep-konsep seperti Model Manajemen Penganggaran Beyond.Pengenalan instrumen manajemen baru seperti Balanced Scorecard, yang membantu untuk lebih menyelaraskan seluruh organisasi dengan tujuan strategis perusahaan dan untuk memfokuskan pada hal-hal penting, telah menciptakan landasan yang tepat. Karena kalau strategi perusahaan dan tujuan yang jelas untuk semua orang dalam sebuah organisasi, salah satu prinsipnya dapat bereaksi lebih cepat terhadap perubahan kondisi pasar. Tapi kemudian anggaran tetap datang ke arah mereka dan mencegah mereka dari benar-benar melakukan hal yang benar. Meskipun apa yang sering hilang adalah lebih fleksibel perencanaan dan pengendalian operasional model. Selain model yang ingin Penganggaran tepat untuk mengisi kesenjangan ini. "



melakukan proses perencanaan skenario
Peter Schwartz, seorang ahli dalam perencanaan skenario, menggambarkan teknik perencanaan skenario ini dalam bukunya: The Art of the Long View (New York: Currency Doubleday, 1996). Buku ini deskripsi yang sangat baik dari konsep perencanaan skenario termasuk banyak studi kasus dan contoh. Konsep yang kasar seperti ini:

Step1: Mengungkap keputusan
Manajemen untuk memahami pilihan. Untuk ini ia harus tahu, apa yang akan "dalam agenda".Untuk setiap perusahaan harus mempunyai keputusan dalam waktu dekat atau masa depan. Tanggapan manajemen kepada mereka akan menentukan masa depan banyak dari kinerja dan kelangsungan hidup. Jadi pada langkah pertama ini keputusan strategis yang mungkin harus dibuat di masa depan harus terungkap. Hal ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang tepat terkait dengan misi dan tujuan bisnis perusahaan seperti: di mana industri kita akan pergi? Apa yang dimaksud dengan jalan pengembangan industri kita? Peristiwa apa mungkin pengaruh itu dan akan memaksa kita untuk berubah? Keadaan di mana mungkin kita menjadi sukses yang luar biasa, di mana keadaan akan perusahaan akan menghadapi risiko? Dibutuhkan terus-menerus bekerja untuk menembus pertahanan mental internal manusia. Oleh karena itu tugas ini meliputi pemeriksaan pikiran-set yang ada manajer, sehingga prasangka dan asumsi menjadi jelas, dan hati-hati berpikir apakah pola pikir mereka akan membuat para manajer ini melihat masa depan yang tepat. Cara terbaik adalah mulai dengan keputusan-keputusan penting yang harus dibuat tetap dan kemudian dibangun keluar ke lingkungan.Langkah ini juga harus meliputi identifikasi faktor-faktor kunci dari sistem bisnis yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan keputusan.

Step2: berburu informasi dan mengumpulkan data
Untuk membuat skenario, cerita, yang bergema dalam beberapa hal dengan apa yang orang sudah tahu dan membawa mereka dari yang mempertanyakan asumsi mereka tentang bagaimana mereka melihat dunia, pengamatan dari dunia nyata harus dibangun ke dalam cerita. Demikian proses skenario melibatkan penelitian - keterampilan berburu dalam mengumpulkan informasi. Hal ini telah dilakukan baik secara sempit - untuk mengejar fakta-fakta yang diperlukan untuk skenario tertentu - dan secara luas - untuk mendidik skenario perencana, sehingga ia dapat mengajukan pertanyaan lebih signifikan. Fleksibilitas dari perspektif sangat penting dalam melakukannya. Perencana skenario harus secara simultan fokus pada apa yang penting dalam suatu situasi keputusan, tapi kesadaran tetap terbuka untuk yang tak terduga. Karena beberapa subjek penelitian muncul lagi dan lagi dalam karya seorang perencana skenario, beberapa perencana merekomendasikan untuk bergerak melakukan penelitian tentang topic yang khas, sebelum mencari orang lain. Topik khas seperti: perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; membentuk persepsi-peristiwa, yang membentuk atau mengubah persepsi masyarakat; ide-ide baru yang muncul dalam "pinggiran" (yang berarti tidak dalam arus utama) dan menyebar lebih jauh.

Step3: Mengidentifikasi kekuatan penggerak skenario
Tugas pertama dalam membangun skenario itu sendiri adalah untuk mencari kekuatan penggerak, kekuatan pendorong dari lingkungan makro yang mempengaruhi faktor-faktor kunci yang telah ditentukan sebelumnya. Misalnya peraturan pemerintah mungkin mempengaruhi mereka. Tapi di samping peraturan pemerintah, ada banyak faktor-faktor eksternal yang kurang jelas juga. Mengidentifikasi dan menilai faktor fundamental ini adalah baik titik awal dan salah satu tujuan dari metode skenario. Kekuatan pendorong adalah elemen yang menggerakkan plot sebuah skenario, yang menentukan hasil cerita. Kekuatan pendorong sering tampak jelas bagi satu orang dan tersembunyi kepada orang lain. Oleh karena itu identifikasi kekuatan mengemudi harus dilakukan dalam sebuah tim, dengan brainstorming bersama-sama. Dengan melihat pada gaya mengemudi seperti itu, akan sangat membantu untuk menjalankan melalui daftar kategori Common mengemudi kekuatan: kekuatan sosial / demografis perkembangan, perkembangan teknologi, perkembangan ekonomi dan peristiwa, perkembangan politik dan peristiwa, perkembangan lingkungan. Biasanya, perusahaan memiliki sedikit kontrol atas kekuatan mengemudi. Pengaruh mereka untuk berurusan dengan mereka berasal dari mengenali mereka, dan memahami efeknya.

Step4: Menemukan unsur-unsur yang telah ditetapkan
Elemen yang telah ditetapkan perkembangan dan logika yang bekerja dalam skenario tanpa tergantung pada rantai tertentu peristiwa. Itu berarti, unsur-unsur yang telah ditetapkan adalah sesuatu, yang tampaknya pasti, tidak peduli skenario mana terjadi. Sebagai contoh yang paling umum dikenal adalah unsur yang telah ditentukan demografi, karena berubah begitu lambat.Misalnya Uni Soviet mengalami penurunan tajam kelahiran selama dan segera setelah Perang Dunia II. Satu generasi kemudian, pada 1960-an dan 1970-an, yang asli "patung bayi" bergema oleh penurunan yang lebih besar daripada yang kita lihat misalnya di Amerika Serikat. Pada pertengahan tahun delapan puluhan sehingga Uni Soviet mengalami penurunan dalam angkatan kerja yang lebih sedikit dan lebih sedikit orang-orang muda usia datang. Ini mungkin disebabkan kerusakan ekonomi yang telah menyebabkan kerusakan politiknya. Sejak 1960-an dan 1970-an, penurunan tenaga kerja di Uni Soviet pada pertengahan tahun delapan puluhan adalah unsur yang telah ditetapkan. Mengidentifikasi unsur-unsur tersebut adalah pembangun kepercayaan diri yang sangat besar dalam pengambilan keputusan strategis. Manajer dapat melakukan beberapa kebijakan dan merasa yakin tentang mereka. Ada beberapa strategi yang berguna untuk mencari elemen ditentukan sebelumnya. Sebagai contoh, Anda bisa mencari perubahan lambat fenomena seperti pertumbuhan populasi atau pembangunan infrastruktur fisik. Anda bisa mencari terkendala situasi, di mana perusahaan, negara atau bahkan individu memiliki, setidaknya selama waktu tertentu, tidak ada pilihan. Cari "di pipa" efek. Hari ini kita sudah tahu apa yang populasi remaja di Jerman pada tahun 2000-an akan. Semuanya sudah lahir dan sudah "di pipa".

Step5: Identifikasi ketidakpastian kritis
Dalam setiap rencana ketidakpastian kritis ada. Skenario perencana mencari mereka untuk mempersiapkan diri bagi mereka. Ketidakpastian kritis sering dikaitkan dengan unsur-unsur yang telah ditentukan. Anda menemukan mereka dengan mempertanyakan asumsi-asumsi Anda tentang predetermines rantai unsur-unsur dan unsur-unsur yang telah ditentukan.Misalnya mempertimbangkan industri penerbitan dari suatu negara tertentu. Populasi pembaca sebagian besar ditentukan sebelumnya - itu tergantung pada demografi. Melek huruf juga merupakan elemen penting untuk memperkirakan permintaan, tetapi jauh dari yang telah ditetapkan. Tergantung pada keputusan yang dibuat oleh pemerintah, pada kebijakan pendidikan di tahun berikutnya. Dengan demikian, mutu pendidikan sekarang akan mempengaruhi pasar media cetak dalam dua puluh tahun berikutnya. Jadi kritis adalah variabel ketidakpastian dalam perencanaan skenario dan merupakan dasar untuk membuat skenario yang berbeda secara paralel. Salah satu metode untuk mengidentifikasi ketidakpastian kritis yang paling penting adalah, untuk peringkat faktor-faktor kunci dan kekuatan pendorong berdasarkan dua kriteria: pertama, tingkat penting bagi keberhasilan masalah fokus atau keputusan yang diidentifikasi pada langkah satu, kedua, tingkat sekitarnya ketidakpastian faktor-faktor dan tren. Intinya adalah untuk mengidentifikasi dua atau tiga faktor yang paling penting dan paling tidak pasti. Faktor-faktor ini kemudian membentuk dasar untuk skenario yang berbeda, karena tujuannya adalah untuk berakhir hanya dengan beberapa skenario perbedaan yang membuat perbedaan kepada para pengambil keputusan.

Step6: Menulis skenario
Untuk menjelaskan masa depan, skenario menggambarkan bagaimana kekuatan pendorong mungkin masuk akal berperilaku, berdasarkan asumsi yang telah ditentukan dan kritis unsur ketidakpastian. Untuk menggambarkan skenario yang berbeda, mereka plot, Anda menggunakan ketidakpastian yang tampak begitu penting. Misalnya untuk industri penerbitan, dua skenario dapat dibuat, tergantung pada tingkat melek huruf. Dalam skenario satu, sejumlah besar orang yang melek huruf meluangkan waktu mereka membaca. Skenario kedua adalah sebaliknya: orang-orang menjadi lebih berorientasi pada televisi dan radio karena tidak mampu membaca untuk menahan perhatian mereka. Tapi ada juga skenario ketiga yang mungkin - bahkan lebih cepat pertumbuhan media cetak, karena lebih banyak orang menghabiskan waktu mereka dengan berbagai media, termasuk Internet, yang saling memperkuat satu sama lain.Jadi kekuatan pendorong, unsur-unsur yang telah ditentukan, dan ketidakpastian kritis memberi struktur eksplorasi masa depan. Untuk membuat skenario cerita, plot garis, rekomendasi adalah, untuk membawa sebuah tim bersama yang menyadari keputusan yang dianggap.Setiap anggota tim perencanaan skenario telah dilakukan penelitian nya. Kemudian mereka duduk bersama berbicara dan mengembangkan ide-ide dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan: Apa kekuatan pendorong? Apa kita merasa tidak pasti? Apa yang tidak dapat dihindari? Bagaimana skenario ini atau itu? Tujuannya adalah untuk memilih plot garis-garis yang mengarah ke pilihan yang berbeda untuk keputusan asli. Tantangannya adalah untuk mengidentifikasi bidang yang paling menangkap dinamika situasi dan mengkomunikasikan titik efektif. Penulis skenario tugas kemudian, untuk menentukan kekuatan di dalam dan di luar perusahaan, dan menganalisis yang plot mereka cocok. Setelah mengumpulkan variasi yang mungkin, penulis skenario akan menggoda lima atau enam variasi yang sesuai dengan kasus.Akhirnya ia sempit dan menggabungkan mereka ke dalam dua atau tiga sepenuhnya gambaran yang terinci tentang apa yang mungkin terjadi - skenario.

Step7: Analisis implikasi dari keputusan sesuai dengan skenario
Apabila skenario telah dikembangkan dalam beberapa detail, maka saatnya untuk kembali ke keputusan yang diidentifikasi dalam langkah pertama. Bagaimana keputusan terlihat di setiap skenario? Apa kerentanan itu diturunkan? Apakah keputusan atau strategi yang kuat di semua skenario, atau apakah itu terlihat baik dalam satu atau dua dari skenario? Jika suatu keputusan hanya terlihat baik dalam salah satu dari beberapa skenario, maka ia memenuhi syarat sebagai berisiko tinggi berjudi, terutama jika perusahaan hanya memiliki sedikit kontrol atas kemungkinan skenario yang diperlukan datang untuk lulus. Pertanyaan apa yang harus dibahas kemudian oleh manajemen adalah, bagaimana strategi yang harus disesuaikan untuk membuatnya lebih kuat jika skenario yang dikehendaki menunjukkan tanda-tanda tidak terjadi.

Step8: Seleksi memimpin indikator dan petunjuk
Hal ini penting untuk mengetahui secepat mungkin dari beberapa skenario yang terdekat dengan perjalanan sejarah seperti itu benar-benar terungkap. Untuk itu, segera setelah skenario yang berbeda telah selesai dan implikasi mereka untuk keputusan ditentukan, maka beberapa indikator harus dipilih, untuk memantau strategi atau keputusan dalam cara yang berkelanjutan.Pemantauan indikator ini akan memungkinkan perusahaan untuk mengetahui apa masa depan untuk industri tertentu dan bagaimana masa depan itu kemungkinan besar akan mempengaruhi strategi dan keputusan dalam industri. Jika skenario telah dikembangkan dengan hati-hati, maka skenario akan dapat menerjemahkan gerakan beberapa indikator kunci menjadi teratur set industri-implikasi tertentu. Koherensi logis yang dibangun ke dalam skenario akan memungkinkan implikasi logis dari indikator terkemuka yang dapat ditarik keluar dari skenario.


Ringkasan

Risiko yang terkait dengan investasi menjadi tidak berwujud, khususnya investasi ke dalam strategi dan dalam rantai inovasi produk dari sebuah perusahaan, jauh lebih tinggi dibandingkan industri tradisional aset fisik jenis investasi. Tapi di sisi lain terbalik sering terbatas. Jadi usaha yang terlibat dalam R & D dan berkesinambungan inovasi produk dan pasar harus menemukan cara untuk membatasi kerugian, risiko, dan untuk meningkatkan terbalik untuk memanfaatkan sepenuhnya investasi mereka dan untuk menghasilkan nilai bagi investor dan stakeholders lainnya. Untuk melakukan itu, mereka harus diam-diam memanfaatkan informasi yang telah tersedia di dalam atau di luar perusahaan dan untuk mengubahnya menjadi pengetahuan tentang kemungkinan skenario dan pilihan-pilihan masa depan perusahaan, untuk bereaksi sebelum peristiwa-peristiwa yang tidak menguntungkan terjadi. Dan skenario perencanaan adalah metode yang sangat baik untuk melakukan itu dan untuk membatasi besar, khususnya risiko strategis.
Skenario perusahaan royal dutch shell
Masa depan adalah 'terra incognita': meskipun kita mungkin dapat menebak hasil dari peristiwa-peristiwa yang terletak dekat dengan kita, sebagai proyek kami di luar ini kita memasuki zona yang penuh dengan ketidakpastian. Paradoksnya, berbagai pilihan ini tampaknya bisa mengungkapkan hal-hal melumpuhkan.
Tidak ada yang bisa memetakan masa depan pasti, tetapi kita dapat mengeksplorasi kemungkinan dengan cara-cara yang secara khusus dirancang untuk mendukung pengambilan keputusan. Di Shell, kami menggunakan bangunan skenario untuk membantu kami bergulat dengan perkembangan dan perilaku yang membentuk masa depan apa yang dapat memegang dan mempersiapkan diri secara lebih efektif. Kami juga percaya hal itu dapat menginspirasi individu dan organisasi untuk memainkan peran lebih aktif dalam membentuk masa depan yang lebih baik - untuk diri mereka sendiri, atau bahkan di skala global.
Dalam makalah ini, kami menggunakan metafora eksplorasi dan pembuatan peta untuk menggambarkan bagaimana kita berpikir tentang membangun skenario. Seperti satu set peta yang menggambarkan aspek yang berbeda dari lanskap, skenario memberikan kami dengan berbagai perspektif mengenai apa yang mungkin terjadi, membantu kita untuk menavigasi lebih berhasil. Eksplorasi - dari suatu wilayah atau masa depan - melibatkan baik pemikiran analitis berakar pada fakta-fakta apa pun yang jelas, dan juga informasi intuisi.
Dunia saat ini tengah dihadapkan pada tiga kenyataan (three hard truths) yang mau tidak mau harus kita hadapi. Beberapa kenyataan tersebut, antara lain permintaan akan energi yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah populasi manusia, volume dari easy oil and gas yang semakin menurun, dan kadar CO2 di atmosfer yang semakin mengkhawatirkan akibat penggunaan bahan bakar fosil yang overconsume.
Berkaca dari tiga kenyataan di atas, beberapa skenario dibuat dalam melihat masa depan bumi ini. Skenario pertama adalah Scramble. Pada skenario ini tidak ada perencanaan-perencanaan terkait dengan pengendalian rasa haus manusia akan energi, pencarian sumber-sumber energi alternatif dan terbarukan, dll. Semuanya dibiarkan mengalir saja. Peningkatan manusia yang berpengaruh pada permintaan akan energi yang juga akan meningkat akan diatasi dengan memaksimalkan eksploitasi sumber-sumber energi primer yang ada. Dampak lingkungan, seperti kadar CO2 di atmosfer, dari penggunaan bahan bakar fosil dikesampingkan. Pada skenario ini, yang utamakan adalah yang terkait dengan kekinian. Masa bodoh dengan masa yang datang. Skenario ini juga akan melahirkan regulasi-regulasi yang sifatnya protektif terhadap sumber-sumber energi primer yang dilberlakukan oleh suatu negara. Atau dengan kata lain, pengamanan terhadap sumber-sumber energi tersebut untuk keberlangsungan penduduknya. Satu kata yang cukup menggambarkan sifat dari skenario ini, reaktif.
Skenario kedua adalah Blueprints. Sesuai dengan nama skenarionya, maka perencanaan-perencanaan dibuat untuk menghadapi prediksi-prediksi yang mungkin saja terjadi di masa yang akan datang. Penelitian-penelitian di bidang energi alternatif dan terbarukan digalakkan. Pola konsumsi energi manusia sedikit demi sedikit diubah. Paradigma 'More Works, Less Energy' ditanamakan sedini mungkin. Skenario ini tidak memungkiri sebagian kebutuhan energi dunia yang masih harus dipenuhi dari sumber-sumber energi fosil. Hanya saja eksploitasi yang dilakukan tidak seperti yang ada pada skenario Scramble. Bahan bakar fosil tetap digunakan, namun sedikit demi sedikit dilakukan pengurangan dalam penggunaannya. Apakah itu dilakukan dengan menyodorkan kepada masyarakat pilihan sumber-sumber energi alternatif dan terbarukan, seperti angin, surya, osmosis air laut-air tawar, air, arus laut, geothermal, dll-nya ataupun dengan mendidik masyarakat agar dapat menghemat dan bekerja dengan energi yang seminimal mungkin penggunaannya. Dengan kata lain, skenario ini mempersiapkan segalanya dengan baik dan matang untuk menghadapi masa yang akan datang yang tidak pasti.
skenario hingga 2015
pertarungan
A. Penerbangan ke batubara: sebagai permintaan energi semakin meningkat giliran politisi murah, berlimpah batu bara, industri batubara ukuran ganda pada 2025. Namun, batubara menghasilkan lebih banyak CO2. daripada kebanyakan sumber energi lainnya. Pelabuhan dan kereta api tidak dapat dibangun cukup cepat untuk transportasi itu.
B. Dengan cepat tumbuh emisi CO2: untuk memastikan pasokan memenuhi permintaan, pemerintah buru-buru secara sepihak untuk mengembangkan sumber energi lokal. Tindakan perubahan iklim didorong lebih jauh ke dalam agenda.

Blueprints
A. Worldwide skema perdagangan emisi pasca Kyoto berkembang: orang-orang dan kelompok, takut kehilangan gaya hidup mereka dan kemakmuran, datang bersama-sama untuk menekan pemerintah dan bisnis untuk memberikan energi yang berkelanjutan menjadi prioritas yang lebih tinggi.
B. Emerging koalisi: koalisi muncul di seluruh dunia untuk mengatasi masalah pencemaran lokal dan semakin bekerja sama untuk mencari solusi. Semakin banyak konsumen dan bisnis menyadari bahwa perubahan tidak selalu menyakitkan, ketakutan semakin berkurang dan tindakan substansial menjadi politis mungkin

skenario sampai dengan 2020
pertarungan
A. dimandatkan biofuels: permintaan untuk bahan bakar transportasi mengarah pada fokus besar pada biofuel. Kenaikan substansial harga pangan mengikuti - terutama di negara-negara yang menggunakan jagung sebagai bahan pokok. Inters tumbuh berikutnya dalam teknologi maju biofuel yang membantu untuk mengatasi masalah keberlanjutan.

Blueprints
A. Global pada skema perdagangan CO2: insentif/perpajakan dilaksanakan untuk mengurangi konsumsi energi dan emisi CO2. CO2 pada skema perdagangan internasional raksasa massa kritis.Peningkatan keterpaduan pada harga CO2 memperlambat permintaan batu bara, merangsang konservasi energi, dan investasi dalam teknologi energi bersih.


skenario sampai dengan 2030
pertarungan
A. membatasi Coal hits. Emisi CO2 moderat, kemudian naik lagi: dunia infrastruktur transportasi batubara mencapai batas. Hal ini tidak mungkin lagi untuk bergerak cukup, transportasi batubara lewat laut atau kereta api untuk memnuhi pasokan

Blueprints
A. penangkapan dan penyimpanan karbon dikerahkan dengan komersial: mulai tahun 2020, harga CO2 dan sistem perdagangan membuka jalan untuk menangkap CO2 dan penyimpanan di bawah tanah. Sebuah transisi penting teknologi dari hari ini, sistem energi karbon besok rendah.
B. Electric kendaraan memasuki pasar massal: permintaan untuk perubahan produksi drive hemat energi kendaraan dan perbaikan lainnya. Membungkuk ke tekanan publik, pemerintah menetapkan target untuk mengurangi emisi dan nol-kendaraan dan hadiah perusahaan yang menemui mereka.

Skenario hingga 2040
pertarungan
A. pertumbuhan energi nuklir: tenaga nuklir membantu mengimbangi permintaan batubara, tapi tidak sebanyak orang berpikir. Tanaman butuh waktu lama untuk dibangun. Mereka dapat politis kontroversial. Kapasitas nuklir tidak akan cukup untuk memberikan kontribusi bermakna sampai 2050.
Blueprints
A. Elektrifikasi sektor transportasi: pada 2040 20% dari pembangkit listrik batubara telah diterapkan untuk CCS (penangkapan dan penyimpanan karbon) dan 50% dari kendaraan baru listrik atau hidrogen.

Skenario hingga 2050
Scramble
A. Iklim dan adaptasi: akhirnya masyarakat menuntut langkah-langkah efisiensi energi, dan akhirnya pemerintah mengambil kebijakan.
B. Energi terkait dengan penurunan emisi CO2 tapi konsentrasi atmosfer terus meningkat: knee jerk “undang-undang ini jarang dipikirkan dan menciptakan masalah lebih lanjut. E.g. kekurangan perumahan baru karena perusahaan-perusahaan konstruksi tidak dapat beradaptasi cukup cepat untuk membangunan regulasi energi baru yang efisien.”
C. Dunia membutuhkan sekitar 15% lebih sedikit energi daripada jika tidak bertindak: setelah dihindari untuk membuat keputusan sulit sebelumnya, dunia kini menghadapi konsekuensi mahal pada tahun 2050 dan seterusnya. Ini adalah warisan yang reaktif, pendekatan acak.

Blueprints
A. pengaruh GDP dunia dan pertumbuhan energi: 2050 oleh AS dan Uni Eropa menggunakan sekitar 25% lebih sedikit energi (per kapita) daripada hari ini. Penggunaan energi Cina juga telah mencapai puncak, indonesia masih memanjat tangga dalam hal energi.
B. Lanjutan pertumbuhan bahan bakar yang tidak konvensional: pada tahun 2050, lebih dari 60% tenaga listrik berasal dari sumber daya terbarukan. Carbon capture / storage berarti bahan bakar fosil yang digunakan dalam cara yang lebih ramah lingkungan.
C. Dunia membutuhkan sekitar 26% lebih sedikit energi daripada jika tidak bertindak: meskipun penggunaan energi akan jauh lebih tinggi daripada sekarang, jauh lebih rendah dari itu bisa saja dan jalan jauh lebih berkelanjutan. Akan ada 3 miliar lebih dari kita, tetapi emisi CO2 akan lebih rendah per kapita, manfaat utama mengejar Blueprints

Sabtu, 20 Maret 2010

Ikan Sidat Indonesia Diincar Jepang

BUDIDAYA IKAN SIDAT
Rabu, 17 Maret 2010 | 10:06 WIB

Sidat Bengkulu Komoditi yang Belum Tergarap
KOMPAS.com — Benar jika dikatakan bahwa kekayaan kelautan dan perikanan Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Buktinya terlihat dari salah satu spesies ikan kegemaran warga Jepang, yaitu ikan sidat atau unagi, yang banyak hidup di perairan Indonesia.

Benih ikan sidat yang bisa hidup di air tawar dan asin itu ternyata menjadi incaran pengusaha perikanan Jepang karena harganya yang terbilang wah dan bisa mengucurkan yen ke kantong. Ambil contoh, ikan sidat jenis marmorata. Untuk membeli satu kilogramnya saja, Anda harus menyediakan uang setidaknya Rp 300.000.

Namun, ada juga 5 jenis ikan sidat lainnya yang salah satunya dijual seharga Rp 150.000 per kg, yakni jenis bicolor. Benihnya banyak ditemukan di perairan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Sampai saat ini, manusia belum bisa melakukan pemijahan terhadap benih ikan sidat tersebut. Pasalnya, ikan ini mensyaratkan pemijahan dilakukan di perairan laut dalam setelah benur lahir dan menjadi benih. Biasanya anakan sidat akan berenang ke muara sungai.

Di muara sungai itulah ikan itu besar sampai kemudian datang masa pemijahan lagi. "Jepang yang memiliki teknologi tinggi pun sampai sekarang belum bisa melakukan pemijahan tersebut," papar Made Suita, Kepala Balai Pelayanan Usaha (BLU) Tambak Pandu, Karawang, Minggu (14/3/2010).

Alhasil, untuk pembudidayaan ikan sidat tersebut, benih harus didatangkan dari alam. Beberapa daerah yang sudah memiliki sebaran tersebut adalah perairan Poso, Manado, selatan Jawa terutama perairan Palabuhan Ratu, dan perairan di barat Sumatera.

Namun, tidak semua daerah itu benihnya bisa dimanfaatkan karena banyak nelayan yang belum mengerti cara untuk menangkapnya. Made menyebutkan, nelayan yang sudah memiliki kemampuan untuk menangkap benih sidat itu baru nelayan yang ada di Palabuhan Ratu. Wilayah ini memiliki palung dan muara sungai yang mengalir ke laut.

Nurdin selaku Kepala Bagian Budidaya di BLU Pandu Karawang bilang, kini sudah ada yang mengomersialkan keberadaan benih itu, terutama nelayan yang ada di Palabuhan Ratu. Mereka sudah mengetahui potensi pasar benih ikan sidat, yang satu kilogramnya atau sekitar 5.000 benih dijual seharga Rp 150.000 per kg. Pembelinya pun kebanyakan datang dari Taiwan, Korea, China, Vietnam, dan tentunya Jepang.

Namun sebagian masyarakat Indonesia belum mengerti keberadaan bibit ikan sidat tersebut. Di Poso dan Manadi, misalnya, benih ikan sidat tersebut bahkan dijadikan ikan yang digoreng dengan rempeyek. Menurut Nurdin, ketika warga tidak mengetahuinya, ikan sidat itu menjadi ikan biasa seperti teri.

Pembeli benih ikan sidat dari berbagai negara kini sudah banyak mengincarnya. Sementara itu, pembeli benih domestik hanya memanfaatkannya untuk kebutuhan budidaya yang ada di Karawang, Cirebon, dan Indramayu. Yang menyulitkan bagi pembudidaya di dalam negeri adalah mereka tidak memiliki akses langsung ke pasar ekspor. Adapun di pasar dalam negeri, mereka tidak bisa berharap banyak karena konsumen domestik tidak menyukai ikan sidat dan juga karena harganya yang mahal.

"Untuk membudidayakannya juga ada persyaratan jika ingin ekspor ke Jepang sehingga pembudidaya ikan sidat sulit untuk ekspor ke sana," kata Nurdin.

Salah satu cara untuk bisa menembus pasar Jepang adalah dengan menjalin kerja sama terhadap perusahaan Jepang yang sebelumnya sudah berbisnis ikan sidat.

Nurdin bilang, ikan sidat cukup mahal karena proses perawatannya yang membutuhkan waktu lebih panjang, yakni 3-4 bulan. Adapun pakan utamanya adalah pelet dengan protein tinggi yang dijual seharga Rp 9.000 per kg. Selain itu, ikan juga butuh pakan tambahan berupa keong mas yang sudah dipotong-potong.

Dalam perawatannya pun, suplai oksigen harus dijaga karena ikan sidat membutuhkan air dengan tingkat larutan oksigen tinggi. Adapun tingkat kehidupan rata-rata ikan sidat tersebut mencapai 75 persen dari bibit yang ditebar. "Jika ingin detailnya, maka silakan datang ke BLU Tambak Pandu Karawang. Kami akan berikan informasi detailnya," undang Nurdin.

Saat ini di BLU Pandu Karawang terdapat mitra kerja sama dari Jepang, yakni Asama Industry Co Ltd. Mitra ini bekerja sama dengan PT Suri Tani Pemuka yang melakukan kerja sama untuk memproduksi ikan sidat di BLU Pandu Karawang. Ikan sidat yang sudah diproduksi tersebut bisa diekspor langsung ke Jepang karena sudah ada yang menampung. Sayang, Made tidak mau menyebutkan angka ekspor dari perusahaan mitranya tersebut.

Saat ini yang dibutuhkan oleh pembudidaya ikan sidat adalah membuka kerja sama dengan pemasok ikan sidat yang ada di pasar dunia. Menurut Made, pasar yang sangat menarik dan belum banyak disentuh adalah pasar ikan sidat untuk kebutuhan non-Jepang. "Yang mengonsumsi itu tidak hanya Jepang. Taiwan, Korea, dan China juga sangat menyukai ikan ini," ungkap Made.

Butuh proteksi ekspor benih

Masalah yang dihadapi oleh pembudidaya ikan sidat ini adalah masalah daya saing yang ketat dengan negara produsen lainnya. Negara yang sudah mengembangkan budidaya ikan sidat ini adalah Vietnam dan Korea, demikian juga dengan Jepang sendiri. Anehnya, kata Made, budidaya di dua negara tersebut mendapatkan benih ikan sidat dari Indonesia.

Padahal, kata Made, Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah memproteksi ekspor benih ikan sidat dengan alasan guna melindungi spesies dan untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. "Namun, pembudidaya ikan sidat di Jepang itu sendiri ternyata adalah orang Indonesia," ungkap Made.

Termasuk yang ada di Korea dan juga Vietnam, benih ikan sidat itu diindikasi berasal dari Indonesia. Made mengindikasi bahwa banyak benih ikan sidat dari Indonesia berseliweran keluar negeri dan dibudidayakan di luar negeri. "Kontainer saja yang besar bisa diselundupkan, apalagi benih yang kecil ini," ujar Made.

Jika penyelundupan benih itu bisa diatasi, maka produksi ikan sidat dari budidaya di dalam negeri bisa sangat diandalkan sebagai nilai tambah bagi pembudidaya di dalam negeri, termasuk menambah devisa negara. (Asnil Bambani Amri/Kontan)kan sidat ikan sidat ikan sidat ikan sidat ikan sidat ikan sidat ikan sidat

Kamis, 18 Maret 2010

Scenario Planning

Traditional forecasting techniques often fail to predict significant changes in the firm's external environment, especially when the change is rapid and turbulent or when information is limited. Consequently, important opportunities and serious threats may be overlooked and the very survival of the firm may be at stake. Scenario planning is a tool specifically designed to deal with major, uncertain shifts in the firm's environment.

Scenario planning has its roots in military strategy studies. Herman Kahn was an early founder of scenario-based planning in his work related to the possible scenarios associated with thermonuclear war ("thinking the unthinkable"). Scenario planning was transformed into a business tool in the late 1960's and early 1970's, most notably by Pierre Wack who developed the scenario planning system used by Royal Dutch/Shell. As a result of these efforts, Shell was prepared to deal with the oil shock that occurred in late 1973 and greatly improved its competitive position in the industry during the oil crisis and the oil glut that followed.

Scenario planning is not about predicting the future. Rather, it attempts to describe what is possible. The result of a scenario analysis is a group of distinct futures, all of which are plausible. The challenge then is how to deal with each of the possible scenarios.

Scenario planning often takes place in a workshop setting of high level executives, technical experts, and industry leaders. The idea is to bring together a wide range of perspectives in order to consider scenarios other than the widely accepted forecasts. The scenario development process should include interviews with managers who later will formulate and implement strategies based on the scenario analysis - without their input the scenarios may leave out important details and not lead to action if they do not address issues important to those who will implement the strategy.

Some of the benefits of scenario planning include:

*

Managers are forced to break out of their standard world view, exposing blind spots that might otherwise be overlooked in the generally accepted forecast.
*

Decision-makers are better able to recognize a scenario in its early stages, should it actually be the one that unfolds.
*

Managers are better able to understand the source of disagreements that often occur when they are envisioning different scenarios without realizing it.

The Scenario Planning Process

The following outlines the sequence of actions that may constitute the process of scenario planning.

1.

Specify the scope of the planning and its time frame.
2.

For the present situation, develop a clear understanding that will serve as the common departure point for each of the scenarios.
3.

Identify predetermined elements that are virtually certain to occur and that will be driving forces.
4.

Identify the critical uncertainties in the environmental variables. If the scope of the analysis is wide, these may be in the macro-environment, for example, political, economic, social, and technological factors (as in PEST).
5.

Identify the more important drivers. One technique for doing so is as follows. Assign each environmental variable two numerical ratings: one rating for its range of variation and another for the strength of its impact on the firm. Multiply these ratings together to arrive at a number that specifies the significance of each environmental factor. For example, consider the extreme case in which a variable had a very large range such that it might be rated a 10 on a scale of 1 to 10 for variation, but in which the variable had very little impact on the firm so that the strength of impact rating would be a 1. Multiplying the two together would yield 10 out of a possible 100, revealing that the variable is not highly critical. After performing this calculation for all of the variables, identify the two having the highest significance.
6.

Consider a few possible values for each variable, ranging between extremes while avoiding highly improbable values.

7.

To analyze the interaction between the variables, develop a matrix of scenarios using the two most important variables and their possible values. Each cell in the matrix then represents a single scenario. For easy reference in later discussion it is worthwhile to give each scenario a descriptive name. If there are more than two critical factors, a multidimensional matrix can be created to handle them but would be difficult to visualize beyond 2 or 3 dimensions. Alternatively, factors can be taken in pairs to generate several two-dimensional matrice. One of these scenarios most likely will reflect the mainstream views of the future. The other scenarios will shed light on what else is possible.
8.

At this point there is not any detail associated with these "first-generation" scenarios. They are simply high level descriptions of a combination of important environmental variables. Specifics can be generated by writing a story to develop each scenario starting from the present. The story should be internally consistent for the selected scenario so that it describes that particular future as realistically as possible. Experts in specific fields may be called upon to devlop each story, possibly with the use of computer simulation models. Game theory may be used to gain an understanding of how each actor pursuing its own self interest might respond in the scenario. The goal of the stories is to transform the analysis from a simple matrix of the obvious range of environmental factors into decision scenarios useful for strategic planning.
9.

Quantify the impact of each scenario on the firm, and formulate appropriate strategies.

An additional step might be to assign a probability to each scenario. Opinions differ on whether one should attempt to assign probabilities when there may be little basis for determining them.

Business unit managers may not take scenarios seriously if they deviate too much from their preconceived view of the world. Many will prefer to rely on forecasts and their judgement, even if they realize that they may miss important changes in the firm's environment. To overcome this reluctance to broaden their thinking, it is useful to create "phantom" scenarios that show the adverse results if the firm were to base its decisions on the mainstream view while the reality turned out to be one of the other scenarios.
Recommended Reading

Wack, Pierre. "Scenarios: Uncharted Waters Ahead." Harvard Business Review 63, no. 5 (1985)

Rabu, 17 Maret 2010

Artikel 1: Investasi pertambangan dan energi

MESDM

A. Faktor Eksternal

1. Otonomi daerah
Dengan diberlakukannya otonomi daerah pada 1 Januari 2001 berdasarkan UU Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999 mengenai kewenangan-kewenangan yang diserahkan ke daerah dan yang diserahkan ke pusat. Untuk sektor pertambangan dan energi, minyak dan gas bumi dipegang oleh pusat sedangkan pertambangan umum dipegang oleh daerah.

UU No. 25 tahun 1999 mengenai PKPD (Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah) dimana dalam otonomi ini minyak dan gas bumi, perimbangannya untuk minyak, di pusat sebesar 85% dan daerah sebesar 15%. Untuk gas di pusat sebesar 70% dan daerah sebesar 30% tetapi untuk pertambangan umum di pusat mendapatkan 20% dan daerah 80%. Tetapi yang terutama hambatan terjadi karena ada satu proses transisi yang saat ini terjadi dimana limpahan dari pusat ke daerah kewenangannya tidak begitu mulus karena memang disadari bahwa di daerah belum sepenuhnya siap menjalani otonomi daerah terutama di sector pertambangan dan energi yang memerlukan kemampuan SDM dan kapital dana yang cukup besar bagi pengembangan sumber-sumber pertambangan dan energi dan juga kemampuan teknologi dan perhatian terhadap lingkungan hidup.
(jd)

Indonesia Disandera Kapitalisme Global

EKONOMI: Kapitalisme Global
Oleh Hidayatullah Muttaqin

Hari ini (14/8) dalam pidato kenegaraan di depan Sidang Paripurna DPR RI, Presiden SBY menyampaikan pandangannya tentang paradigma dan strategi pembangunan ekonomi. Menurut SBY, Indonesia tidak boleh terjerat Kapitalisme Global.

Sebagaimana dipetik Kompas.com (14/8), presiden mengatakan: “Paradigma dan grand strategy pembangunan ekonomi seperti itulah yang mesti kita anut dan perkokoh. Intinya kita tidak boleh terjerat, menyerah, dan tersandera oleh kapitalisme global yang fundamental yang sering membawa ketidakadilan bagi kita semua.”

Pernyataan presiden tersebut terasa sangat mempesona. Sepertinya rakyat memiliki seorang pemimpin yang berani melawan arus politik ekonomi global. Namun sayangnya, realitas paradigma dan track record kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan presiden SBY justru bertolakbelakang dengan ucapan-ucapannya.

Begitu pula, track record bagaimana SBY berhadapan dengan publik sudah diketahui umum bahwa ia merupakan orang yang gemar membangun citra dirinya dari pada bertindak sesuai ucapannya. Di bawah kepemimpinannya, birokrasi pusat hingga ke daerah lebih sibuk memoles “gincu” dalam bentuk iklan-iklan di media elektronik dan cetak dari pada menyelesaikan permasalahan negara dan masyarakat.

Sementara itu, realitas paradigma kebijakan pemerintah tetap setia pada liberalisme ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah justru membangun keterikatan dengan lembaga-lembaga global Kapitalisme seperti organisasi perdagangan bebas dunia (WTO), IMF, World Bank, dan ADB.

Satu contoh, betapa Indonesia terikat dengan Kapitalisme global adalah upaya pemerintah menyerahkan harga BBM pada mekanisme pasar internasional. Ini artinya pemerintah menyerahkan harga komoditas BBM (yang sebagian sumber dayanya ada di negeri sendiri) mengikuti turun naiknya harga minyak mentah yang ditentukan oleh para penjudi (spekulan) di lantai bursa dunia.

Ketika Mahkamah Konstitusi melarang pemerintah menetapkan harga BBM berdasarkan harga pasar internasional, pemerintah pun mengakalinya dengan mengubah istilahnya menjadi harga kekinian.

Sungguh kita mengetahui begitu beratnya dampak dari kenaikan harga BBM bagi masyarakat khususnya lapisan menengah ke bawah. Namun pemerintah tidak bergeming.

Inilah satu contoh negara kita dan pemimpin negeri ini telah mengikatkan tali Kapitalisme Global sehingga Indonesia tersendera. Dan untuk itu, penguasa negeri ini terus melakukan kebohongan publik dengan konsekwensi semakin langgengnya penjajahan Kapitalisme Global di Indonesia. [JURNAL EKONOMI IDEOLOGIS/ www.jurnal-ekonomi.org]

Google Tutup Kantor Di Cina

Topik: Announcement, Google, Internet, News
Dikarenakan perundingan antara pihak Google dan pemerintah Cina, mengenai sensor internet, menemui jalan buntu maka Google memutuskan untuk menutup kantornya di Cina. Kepastian ini muncul karena sulitnya menemukan titik temu di antara keduanya.
Asal muasal peristiwa ini adalah usaha menjebol akun mail Google oleh para hacker Cina. Diperkirakan, serangan ini dilakukan untuk melacak pergerakan aktivitis hak asasi manusia di seluruh dunia yang memakai layanan e-mail mereka. Google pun naik pitam dan mengeluarkan ancaman bahwa mereka akan hengkang dari China jika harus menyensor hasil pencarian di mesin pencarinya.
Hmmm…kita tunggu kabar berikutnya.

G20: Sarana Baru Imperialisme Barat

December 22nd, 2009 in JURNAL | 1 Comment »
Oleh Hidayatullah Muttaqin
Tulisan ini dimuat di Jurnal Al-Waie Edisi November 2009


Pengantar

KTT G-20 di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat 24-25 September lalu menjadi babak baru bagi perekonomian dunia dengan diubahnya status forum ini menjadi permanen. Otomatis G-20 menghapus G-8 sebagai kelompok ekonomi terbesar di dunia. G-20 menghimpun dua pertiga penduduk dunia dengan nilai ouput mencapai 90% PDB global dan menguasai 80% transaksi perdagangan internasional.

KTT G-20 di Pittsburgh juga menghasilkan keputusan meningkatkan keterlibatan negara-negara berkembang di IMF. Di samping itu, G-20 tetap mempertahankan langkah stimulus, meningkatkan kuantitas dan kualitas modal bank, pemangkasan gaji dan bonus para eksekutif di sektor perbankan, dan penghapusan tempat bebas pajak (tax heaven). Anggota G-20 juga sepakat untuk menghapus subsidi bahan bakar fosil yang memperparah pemanasan global.

G-20 merupakan sebuah forum baru yang mempertemukan negara-negara kaya yang sebelumnya terhimpun dalam G-8 dengan negara-negara berkembang dengan skala ekonomi yang cukup besar. Keberadaan G-20 didorong oleh pukulan krisis keuangan global yang “bersumbu” di AS. Apa yang melatarbelakangi G-20 dan siapa yang memanfaatkan keberadaan organisasi ini? Bagaimana posisi Indonesia serta konsekwensinya bagi perekonomian dunia? Tulisan ini berusaha mengulas pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Melemahnya Hegemoni AS

Sejak didaulat memasuki resesi pada Desember 2007 hingga September 2009, jumlah pengangguran di negeri Paman Sam meledak dari 7,6 juta orang menjadi 15,1 juta orang (Bureau of Labor Statistics U.S. Department of Labor, News Release: The Employment Situation – September 2009). Di sisi lain, biaya krisis yang sudah dikeluarkan AS menyebabkan defisit terburuk sejak 1945. Sejak pemerintahan Obama dimulai, AS mengalami defisit APBN hingga US$ 1,4 trilyun (cboblog.cbo.gov, 7/10/2009).

Jumlah hutang pemerintah AS pun bertambah US$ 2,75 trilyun sejak resesi Desember 2007. Di awal resesi hutang AS mencapai US$ 9,15 trilyun dan kini sudah menyentuh US$ 11,90 trilyun (treasurydirect.gov). Akibatnya beban pembayaran bunga juga bertambah besar tiga kali lebih banyak dari anggaran pendidikan AS. Kondisi ini menyebakan hegemoni AS di bidang ekonomi melemah.

Sikap penentangan terhadap dominasi AS secara terang-terangan ditunjukkan oleh negara-negara Kapitalis Eropa daratan (continental). Jerman dan Perancis mengecam dominasi AS dalam sistem keuangan global. Jerman menegaskan krisis telah menggerus status AS sebagai adidaya di bidang ekonomi sedangkan Perancis menginginkan diakhirinya sistem pasar bebas tanpa kontrol (euobserver.com, 26/9/2009).

Ada Apa dengan G-20?

Dalam forum G-20, AS berkepentingan mempertahankan hegemoninya. Karena itu arah strategi AS dalam penyelesaian krisis keuangan global tidak bertumpu pada perombakan sistem Kapitalisme. AS fokus pada pembiayaan dampak krisis keuangan yang dialaminya dalam bentuk bailout dan stimulus bukan merombak sistem keuangan. Begitu pula AS berupaya agar seluruh dunia terlibat dalam pendanaan dampak krisis sehingga partisipasi internasional dapat meringankan bebannya.

Dalam wawancara dengan Financial Times, Kepala Penasehat Ekonomi Gedung Putih, Lawrence Summers menyerukan para pemimpin dunia lebih banyak mengucurkan dana stimulus sebagai jalan untuk mendorong pertumbuhan global (ft.com, 8/3/2009). AS juga telah menganggarkan US$ 11,56 trilyun untuk memerangi krisis, di mana US$ 2,90 trilyun di antaranya dikeluarkan sebagai paket bailout dan stimulus ekonomi (bloomberg.com, 25/9/2009).

Sebaliknya, Jerman dan Perancis yang mewakili Uni Eropa berupaya menggeser dominasi AS dalam sistem keuangan global. Kedua negara ini mengarahkan G-20 pada reformasi sistem keuangan global, seperti masalah transparansi, pengurangan bonus “gila-gilaan” para eksekutif bank, penghapusan negara bebas pajak (tax heaven) yang menjadi surga penggelapan pajak, dan pembatasan transaksi derivatif (bbc.co.uk/indonesian, 1/4/2009).

Berdasarkan konstelasi geoekonomi tersebut, maka pertemuan demi pertemuan para pemimpin G-20 pada dasarnya hanya untuk merealisasikan visi kedua kutub ekonomi dunia ini. Karena itu deklarasi yang dihasilkan pada akhirnya hanyalah berisi poin-poin kompromi kedua belah pihak, bukan menyelesaikan sebab fundamental krisis keuangan global.

Meskipun demikian negara independen seperti China dan Rusia juga memiliki kepentingan terhadap G-20. China misalnya berkepentingan agar AS dan dunia tetap memiliki kekuatan permintaan dalam perdagangan internasional. Sebab jika terjadi penurunan permintaan AS dan dunia secara siknifikan dan berkelanjutan, maka imbasnya kembali ke negeri tirai bambu tersebut dalam bentuk penurunan ekspor, out put, dan tentu saja bertambahnya pengangguran.

Posisi Indonesia

Sejak keterlibatan Indonesia dalam pertemuan G-20 di level kepala negara, ada semacam kebanggaan Indonesia sudah setara dengan negara-negara maju, lebih strategis, dan gagasan-gagasan yang dilontarkan oleh Presiden SBY juga diadopsi menjadi keputusan G-20. Pandangan ini salah kaprah. Dengan berpijak pada konstelasi geoekonomi G-20, dapat kita lihat di mana posisi Indonesia.

Dalam KTT G-20 di Washington (15/11/2008), Presiden SBY menyampaikan proposal solusi krisis jangka pendek dengan menjamin tersedianya dana likuiditas dan menjaga kepercayaan perbankan. Untuk jangka menengah, SBY mengusulkan perlunya langkah-langkah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan fiskal dan moneter. Sedangkan jangka panjang, SBY mengusulkan reformasi sistem arsitektur keuangan global dengan melibatkan lebih besar lagi peran negara-negara berkembang (emerging market) ke dalam institusi keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia (presidensby.info, 16/11/2008).

Gagasan yang disampaikan Presiden SBY tersebut sesuai dengan visi AS dalam G-20. Pertama, pada solusi jangka pendek yang dilontarkan presiden, searah dengan kebijakan AS yakni jaminan dan bailout negara atas institusi keuangan/bank untuk memulihkan kepercayaan dan terjaganya likuiditas.

Kedua, solusi jangka menengah sesuai seruan AS agar negara-negara di dunia meningkatkan pengeluaran dalam bentuk stimulus fiskal dan ekonomi.

Ketiga, solusi jangka panjang dalam bentuk reformasi arsitektur keuangan global yang digagas presiden sebenarnya bukanlah sebuah gagasan untuk melakukan perubahan fundamental. Gagasan Indonesia justru memperkuat sistem keuangan global yang didominasi AS. Seperti tentang perlunya keterlibatan negara-negara berkembang dalam proporsi yang lebih siknifikan dalam IMF ataupun Bank Dunia, serta keterlibatan yang lebih luas dalam mensupport pendanaan bagi kedua lembaga Bretton Woods.

Di KTT G-20 London (2/4/2009), secara tidak langsung Presiden SBY kembali menegaskan dukungannya yang luas untuk kepentingan AS. Di London, Presiden SBY mengharapkan keterlibatan yang lebih luas bagi negara-negara berkembang pada institusi keuangan global. Dalam “bahasa SBY”, agar KTT G-20 dapat mewadahi kepentingan negara-negara berkembang (lihat presidensby.info, 3/4/2009).

Di Pittsburgh, Indonesia kembali memfokuskan G-20 pada keterlibatan negara-negara berkembang dalam penanganan krisis keuangan global dan resesi dunia, serta keinginan Indonesia agar G-20 menjadi forum permanen (presidensby.info, 25/9/2009). Dengan langkah ini, Indonesia berkonstribusi menjerumuskan negara-negara berkembang secara lebih dalam kepada imperialisme Barat di bidang ekonomi.

Jelaslah, keberadaan Indonesia memiliki peran penting untuk merealisasikan visi AS. Indonesia didesain menyampaikan gagasan-gagasannya secara independen tidak lain hanya untuk memperkuat posisi AS dalam forum G-20.

G-20 sebagai Sarana Imperialisme

Harapan agar G-20 memiliki peran yang besar dalam mengatasi krisis global, menciptakan kesetaraan dan keadilan hanya ilusi. Sebab G-20 tidak menjawab persoalan krisis secara subtansial melainkan lebih terarah untuk mempertahankan Kapitalisme baik Kapitalisme ala Anglo-Saxon (AS dan Inggris) maupun ala Eropa Continental (Jerman dan Perancis). Justru G-20 menjadi sarana baru bagi Barat dalam mempertahankan eksistensi penjajahannya atas dunia.

Pelibatan negara-negara berkembang dalam G-20 dan penataan institusi keuangan global tidak serta merta membuat posisi dunia ketiga terhadap negara-negara maju menjadi setara. Skenario ini justru semakin menguras sumber daya yang dimiliki negara-negara berkembang untuk membiayai krisis AS dan Eropa. Di sisi lain negara-negara berkembang didesain untuk meningkatkan ketergantung pada hutang melalui IMF dan Bank Dunia dengan dana yang diambil dari negara-negara berkembang yang kaya seperti Arab Saudi.

Keberadaan G-20 juga bukan untuk menggantikan peran IMF dan Bank Dunia. Namun, G-20 dibutuhkan Barat untuk menutupi ketidakmampuan dua lembaga ini dalam meredam dampak krisis keuangan global. Dengan G-20, Barat memiliki kekuatan lebih untuk mengorganisir kebijakan dan menghimpun dana dalam menyokong institusi keuangan global tersebut. Sebagaimana kesepakatan KTT G-20 di London yang menggalang sumber daya global untuk meningkatkan pembiayaan IMF tiga kali lipat menjadi US$ 750 milyar

Di G-20 negara-negara berkembang tetap menjadi subordinasi negara-negara maju. Mereka mengikuti apa saja yang diinginkan oleh Barat sebagaimana mereka dilarang melakukan proteksionisme dan harus meliberalisasi perekonomian domestik. Padahal negara-negara maju melakukan proteksionisme terselubung terhadap lembaga keuangan dan korporasi raksasa mereka dengan dana trilyunan dollar.

Melalui G-20 negara-negara berkembang terperangkap pada penghapusan subsidi bahan bakar fosil dengan alasan menanggulangi perubahan iklim. Aneh, pemanasan global yang diakibatkan konsumsi BBM secara rakus oleh negara-negara maju terutama AS yang menghabiskan seperempat konsumsi BBM dunia setiap harinya harus ditanggung oleh rakyat di belahan bumi selatan. Lebih aneh lagi Indonesia sangat bangga karena gagasan tentang mengatasi dampak perubahan iklim datang dari Presiden SBY yang memperkuat usulan penghapusan subsidi bahan bakar fosil berasal dari Presiden Obama.

Penutup

Secara ideologis, negara-negara Barat tidak dapat bertahan hidup untuk membiayai “kerakusan” sistem ekonominya kecuali melakukan penjajahan atas negara lain. Sebagaimana pandangan Taqiyuddin an-Nabhani, penjajahan merupakan metode baku Kapitalisme, sedangkan yang berubah hanya cara (uslub) dan sarananya.

Krisis keuangan global telah memunculkan G-20 sebagai sarana baru bagi Barat untuk mengatasi dampak krisis sekaligus mengefektifkan penjajahannya atas dunia Islam dan negara-negara berkembang. Patut disayangkan, Indonesia sebagai negeri muslim terbesar di dunia bukan saja terperangkan penjajahan Barat tetapi juga menjadi “ujung tombak” AS dalam merealisasikan agenda-agenda imperialismennya. Seharusnya Indonesia menjadi pionir bagi dunia Islam yang berani melepaskan keterikatan dengan ideologi Kapitalisme dan menghidupkan kembali sistem Khilafah yang pernah memimpin dunia.[]

Hidayatullah Muttaqin, SE, MSI adalah dosen tetap Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin